Mentor yang Tak Terlihat: KH Musta’in Romly dan Jejak Ideologis di Pesantren Awang-Awang
Menjelang Reuni Akbar Universitas Darul Ulum Jombang, saya, seorang alumni Fakultas Agama Islam, kembali merenungi bagaimana ide dan semangat bisa hidup dalam diam—menyusup ke dalam arah gerak sebuah lembaga pendidikan, bahkan tanpa perlu terlihat secara terang-terangan. Bukan kebetulan, saya kemudian teringat pada kisah tentang pesantren di sebuah desa bernama Awang-Awang, Mojosari, Mojokerto.
Pesantren ini dikenal cukup “nyleneh”—bukan dalam arti negatif, melainkan sebagai pesantren alternatif yang menolak tunduk pada pakem yang stagnan. Ia bergerak dengan cara yang unik, dan punya nyali menggebrak kelaziman. Tapi keberanian seperti ini tentu tidak lahir begitu saja. Saya percaya, selalu ada tangan tak terlihat di balik semua gerak maju sebuah lembaga pendidikan revolusioner. Sosok seperti ini biasa disebut mentor—tapi lebih tepatnya mungkin, ia adalah “mentor ideologis”. Sosok yang hadir sekali sentuh, lalu menghilang, tapi meninggalkan jejak kuat dalam visi, keberanian, dan arah perjuangan pesantren itu.
Saya tak pernah lupa cerita masa kecil yang dulu saya dengar—sayangnya saya lupa siapa yang mengisahkan. Bahwa di Pesantren Awang-Awang itu, sudah sejak lama tersedia armada bus antar-jemput santri. Bukan satu-dua unit, tapi bisa lima hingga sepuluh bus besar, bukan bus mini. Itu terjadi saat saya masih seusia SD. Satu hal yang bagi saya, pada masa itu, begitu luar biasa untuk ukuran pesantren yang tidak berada di tengah kota.
Pertanyaannya kemudian: siapa yang mungkin punya kuasa atau peran untuk menghadirkan bus-bus itu ke pesantren? Mungkin saja lewat proposal, tentu. Tapi saya lebih meyakini ada “tangan ideologis” di baliknya. Ternyata, bus-bus itu adalah bantuan dari Partai Golkar. Ini bukan hal remeh. Pada masa itu, sangat tabu bagi kalangan pesantren untuk berafiliasi dengan Golkar—partai yang kerap dianggap simbol kekuasaan Orde Baru. Kebanyakan pesantren, kalau pun berpolitik, pasti condong ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi pengasuh pesantren Awang-Awang ini justru menggandeng Golkar. Ini bukan sekadar strategi, tapi sebuah keberanian untuk memilih jalan yang tidak umum.
Di sinilah saya menemukan sosok yang pantas disebut sebagai “mentor ideologis” dari KH Mansyur, pengasuh Pesantren Awang-Awang: beliau adalah KH Musta’in Romly.
Kisah ini terasa semakin hidup ketika saya mendengar bahwa pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, KH Musta’in Romly pernah mengajak KH Mansyur untuk menghadap langsung ke Presiden. Dalam pertemuan itu, di hadapan Soeharto sendiri, KH Musta’in Romly dengan penuh keyakinan berkata, “Ini Pak Kiai saya.” Sebuah pengakuan yang tidak main-main. Pernyataan itu tidak hanya menunjukkan betapa besar hormat KH Musta’in Romly kepada KH Mansyur, tetapi juga mengantar KH Mansyur ke dalam lingkaran penghormatan kekuasaan. Presiden Soeharto pun, sejak saat itu, menaruh respek kepada KH Mansyur.
Tak heran jika KH Mansyur kemudian mengikuti jejak mentor ideologisnya: tidak terjebak pada arus utama politik pesantren, tapi justru menjalin komunikasi strategis dengan Golkar—sebuah langkah yang pada masa itu sangat jarang dilakukan kiai pesantren. Keberanian ini bukan hasil pragmatisme, tapi refleksi dari warisan pemikiran KH Musta’in Romly yang sejak awal memang dikenal berani berbeda. Di saat banyak kiai cenderung melangkah di jalur aman PPP, KH Musta’in Romly memilih jalan sunyi yang strategis—berada di lingkar kekuasaan untuk mengalirkan manfaat sebesar-besarnya bagi umat.
KH Musta’in Romly bukan hanya pendiri Universitas Darul Ulum Jombang, tetapi juga pencetus Falsafah Trisula: sinergi antara pesantren, tarekat, dan perguruan tinggi. Baginya, santri harus kuat dalam ilmu, tangguh dalam spiritualitas, dan cerdas dalam strategi sosial-politik. Inilah ruh ideologis yang diwariskannya, dan hidup dalam gerak KH Mansyur serta pesantren-pesantren yang ia bentuk.
Kini, ketika saya menengok kembali perjalanan lembaga-lembaga pendidikan yang tak gentar menempuh jalan berbeda, saya semakin yakin: mereka tak mungkin berjalan sejauh itu tanpa ideolog yang membisikkan keberanian sejak awal. Sosok seperti KH Musta’in Romly mungkin hanya sesekali terlihat, tapi pengaruhnya berumur panjang—sepanjang usia nilai dan keteguhan yang diwariskannya.
KH.Musta'in Romly adalah Kyai yg kontroversisl,berani melawan arus besar haluan politik pesantren saat itu..._"Ngintir" tapi tidak "Kintir" demi kemaslahatan ummat.",..begitu alasan beliau saat itu di media Kompas kolom _Politika_ sekitar thn 1983.
BalasHapusKH.Mansur Hamid,pengasuh dan pendiri Ponpes Mambaul Ulum Awang-Awang Mojosari,adalah murid Tharekot Njoso yg mursyid-nya adalah KH.Mustain Romly putra dari KHM.Romly Tamim,suami dari Ibu Nyai Hj.Chotidjah Romly,bibi dari mertuanya KH.Mansur Hamid yg tinggal di Pesanggrahan-Kurirejo.
*(Bersambung...)
🙏✍️🕌
Alhamdulillah saya rajin mengikuti kuliah subuh dan kajian kitab riyadus sholihin yg diasuh beliau Alm Kyai Mustain di th 1984,kyai yg cerdas dan punya selera humor yang tinggi dan ahli wirid
BalasHapus