Homeschooling, Radikalisme, dan IPNU-IPPNU

Meskipun model belajar ala sekolahrumah (homeschooling) lebih marak sejak pandemi COVID-19, eksistensinya tetap saja ada yang beranggapan kurang baik.

Yang paling sering muncul adalah persepsi anak-anak yang belajar model homeschooling mengalami kesulitan dalam berinteraksi sosial. Mereka belajar di rumah tanpa teman seperti di sekolah, sehingga pembiasaan berinteraksi sosial dengan orang-orang di luar rumah tidak ada.

Ada pula yang memiliki persepsi bahwa anak-anak homeschooling (homeschooler) kurang bisa menghargai waktu. Waktu belajar mereka lebih fleksibel. Memang fleksibilitas ini meninggalkan kesan bahwa homeschooler tidak perlu bangun pagi layaknya anak-anak sekolah formal. 

Menanggapi persepsi ini, orang tua anak homeschooling tak perlu risau. Agar anak tidak melulu beraktivitas di dalam rumah, anak bisa dimotivasi mengikuti kegiatan organisasi kepemudaan. Tentu saja organisasi yang sesuai dengan visi misi pendidikan yang ditetapkan keluarga dan tidak bertentangan dengan aturan negara.

Organisasi kepemudaan yang berkembang baik di Indonesia salah satunya Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama yang disingkat IPNU-IPPNU. Di organisasi ini anak akan berjumpa teman-temannya dengan latar belakang berbeda. Lingkungan sosial anak sudah lebih luas daripada lingkungan keluarga. Meskipun anak tidak sekolah formal, ia memiliki teman di organisasi IPNU-IPPNU.

IPNU-IPPNU juga mendidik anggotanya agar dapat memanfaatkan waktu dengan baik. Tampak dari jadwal kegiatan Masa Kesetiaan Anggota (Makesta) yang diselenggarakan IPNU-IPPNU. Makesta merupakan jenjang kaderisasi formal pertama dalam organisasi IPNU-IPPNU. Jadwal kegiatan Makesta cukup padat dan tentu saja akan memberi dampak manfaat bagi anggotanya. 

Tak kalah penting tentang keberadaan IPNU-IPPNU bagi anak homeschooling adalah cara pandang tentang keberagaman. Sebagai organisasi dan badan otonom di organisasi Nahdlatul Ulama, IPNU-IPPNU mengajarkan anggotanya untuk menghargai perbedaan, pendidikan organisasi yang dapat menahan munculnya radikalisme.

Kekhawatiran munculnya paham radikalisme di homeschooling ini cukup beralasan. Penerapan kurikulum model pembelajaran homeschooling, lebih bersifat personal. Dengan kurikulum lebih spesifik, anak dapat belajar sesuai minat, bakat, dan passionnya. Kurikulum yang bersifat personal ini, diduga akan menjadi cela dalam menanamkan paham ekstrim. Asumsi ini dijadikan penelitian oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta.

Melansir dari ppim.uinjkt.ac.id tentang laporan penelitian yang berbentuk infografis oleh PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta pada Agustus-September 2019, penelitian berasumsi bahwa homeschooling memiliki potensi untuk menciptakan apa yang disebut oleh Della Porta sebagai "spiral Of Encapsulations" yaitu pengucilan diri yang semakin lama semakin dalam dan menyendiri sehingga menjauhkan anak-anak dari nilai-nilai umum kewargaan.

Nah, melalui IPNU-IPPNU anak berada di lingkungan sosial yang kondusif, mendapatkan wawasan pengetahuan dan skill berorganisasi sebagai bekal menapaki hidup di luar kehidupan keluarga dalam berbangsa, bernegara, dan beragama yang terangkum dalam Profil Pelajar Pancasila.

Apa itu Profil Pelajar Pancasila?

Mengutip dari ditpsd.kemdikbud.go.id, Profil Pelajar Pancasila dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Tahun 2020-2024 bahwa yang dimaksud pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dengan enam ciri utama: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.




Komentar

Postingan Populer