Hati-Hati, Jangan Karena Alasan Mendisiplinkan Anak, Sekolah Menjadi Tak Ramah Anak



Sekolah dan disiplin menjadi salah kaprah ketika menjadikan anak berjarak dengan kemanusiaannya. Dia berubah menjadi mesin. Hati-hati, proses pendisiplinan akan berubah menjadi sistem hegemonik yang menjadikan anak bak robot. Rasa senangnya terabaikan dan pergi ke sekolah karena tuntutan orang lain. Begitu juga ekstrakulikuler yang diwajibkan, tak lagi menjadi pilihan merdeka, tetapi berubah menjadi kewajiban yang tidak memberi saluran potensi.

Ada fenomena sekolah yang membuat poin-poin penilaian (sistem point) kepada peserta didik dari sisi negatif semisal anak terlambat mendapat poin 10, anak berkelahi dapat poin 15 hingga anak mendapat poin sekian angka yang menjadi sebab ia dikembalikan kepada orang tuanya. Dengan konsep sekolah ramah anak, sebaiknya ada perubahan sistem poin tersebut yang sering terjadi di sekolah-sekolah terutama di tingkat SMP/ MTs dan SMA/MAN. Anak-anak yang awalnya dinilai dari hal-hal negatifnya, diubah dan dinilai dari hal-hal yang positif yang anak-anak lakukan.

Terkait dengan poin-poinnya apa saja, itu berdasarkan poin-poin yang sudah ada sebelumnya, hanya diubah menjadi bahasa positif. Contoh awalnya, anak datang terlambat dapat poin 10 diubah anak datang tepat waktu poin 10.

Pembahasan sistem poin ini ada di obrolan santai yang disampaikan kawan saya Ibu Bekti saat makan siang hari pertama dalam Konvensi Pendidikan VIII di Nganjuk 6 Juli 2019 lalu. Obrolan santai di cafe Sekolah Rakyat Wisata Petung Ulung tentang Sekolah Ramah Anak (SRA) ini mirip sekali dengan keluhan saya di sosial media soal sanksi sekolah kepada anak yang tak hadir di kegiatan ekstrakurikuler.

Anak itu memiliki minat dan bakat yang berbeda. Kalau kegiatan ekstra kurikuler yang dipatok sekolah adalah kegiatan yang tidak mereka minati, apa bisa mereka menjalani kegiatan dengan bahagia dan bersemangat? Ketidakhadirannya di sekolah janganlah keburu dianggap sebagai ketidakpatuhan sehingga harus dihukum di waktu lainnya.

Sedih juga menyaksikan peserta didik yang menjalani sanksi akibat tidak ikut kegiatan ekstra kurikuler di sekolah yang tidak mereka minati. Ekstrakurikuler yang saya pahami untuk mengembangkan potensi minat dan bakat peserta didik bukanlah kegiatan pantes-pantesan saja, menggugurkan label sebagai sekolah tidak punya aktivitas. Kegiatan ini mestinya membuat anak semakin berkarakter baik karena bakat dan minatnya diakomodasi.

 Anak itu memiliki minat dan bakat yang berbeda. Kalau kegiatan ekstra kurikuler yang dipatok sekolah adalah kegiatan yang tidak mereka minati, apa bisa mereka menjalani kegiatan dengan bahagia dan bersemangat? Ketidakhadirannya di sekolah janganlah keburu dianggap sebagai ketidakpatuhan sehingga harus dihukum di waktu lainnya.

Saatnya sekolah mendata minat dan bakat peserta didik yang serius. Tidaklah mungkin ada ratusan peserta didik yang memiliki minat dan bakat yang sama dari aktivitas ekstra kurikuler yang jumlahnya tidak lebih dari 3 kegiatan.

Janganlah dikit-dikit sanksi, dikit-dikit sanksi, evaluasilah apa yang tak tepat dalam program sekolah.

Sungguh saya sedih kalau menyaksikan anak berlarian mengikuti kegiatan sekolah karena mereka takut dihukum. Dampak dari hukuman itu mungkin tak menyakiti fisiknya, nyatanya kemungkinan menyakiti mentalnya. Dipermalukan di depan kawan-kawannya, dikapokkan dengan cara-cara yang sejatinya guru tersebut juga tidak mau menjalani, andai beliau di masa-masa menjadi peserta didik di sekolah.

Kapan sekolah menjadi institusi yang paling berjasa dalam membentuk karakter baik dan mengembangkan minat dan bakat peserta didik hingga menjadi prestasi yang melejit dan membanggakan?

Teman saya,  pendidik yang mengajar di SMP, Hindin Wahid berpendapat yang ditulis dalam komentar status Facebook saya yang membahas ekstrakurikuler (31 Mei 2019). Komentarnya,  

"Ekstrakurikuler di sekolah ada untuk mengakomodasi minat peserta didik. Sayangnya pemerintah malah mengadakan ekstra kurikuler wajib. Wajib berarti harus dilaksanakan oleh sekolah dan diikuti semua peserta didik tanpa kecuali. Bahkan nilainya menjadi syarat kenaikan kelas. Pendidikan karakter juga menjadi alasan diwajibkannya ekstrakurikuler ini. Entah karakter yang mana."

Komentarnya saya tanggapi begini,

"Seperti misalnya Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib, kemasan kegiatan adalah kepramukaan tapi kegiatannya bisa lebih kekinian. Masak iya, jaman saya sampai jaman anak saya pramuka itu hanya kemah, bikin drakbar, aneka macam tepuk dan nyanyian, dan permainan sandi.
Jaman sekarang anak-anak berkategori generasi Z, semua serba internet, pastilah sangat mungkin aneka kegiatan bisa dielaborasi dan kombinasi dengan eranya ini. Pramuka bersinergi dg industri 4.0 misalnya. Anggota pramuka yang peka teknologi tidak hanya sebagai pengguna tapi juga menjadi pencipta produk-produk yang bermanfaat untuk dia dan temannya."

Teman facebook saya dengan nama akun Indriyati Rodjan menambahkan macam-macam kegiatan Pramuka yang sesuai dengan perkembangan jaman.

"Pembinanya musti kreatif mendesain kemasan kegiatan ekstrakurikuler wajib. Pramuka juga bisa diarahkan membuat poster tentang pelestarian lingkungan. Jadi mengakomodasi anak-anak yang punya talenta melukis, Pramuka bisa mengakomodir kegiatan teater atau parade puisi cinta tanah air atau apalah apalah, jadi mengakomodir anak-anak yang suka teater, Pramuka bisa mengakomodir anak anak yang punya talenta di bidang musik juga. Pramuka juga bisa mengakomodir anak- anak yang punya talenta menari. Bukankah saat jambore nasional ada ajang pertukaran seni budaya antar provinsi?"

Ada pula yang tidak sepaham dengan status saya, dan bekomentar seperti memberi klarifikasi atau penjelasan mengapa sekolah memberi sanksi kepada peserta didik yang tidak ikut ekstrakurikuler. Berikut ini komentar sanggahannya.

"Setiap sekolah memang punya aturan tersendiri untuk menerapkan kegiatan ekstrakulikuler. Berdasarkan pengalaman kegiatan yang diwajibkan saja banyak siswa yang tidak mengikuti, apalagi kalau kegitan tersebut tidak diwajibkan. Dihukum mulai tingkat rendah sampai tingkat tinggi tetap saja melanggar. Contoh kecil dalam Pramuka, kegiatannya tidak hanya nyanyi dan tepuk tangan saja, akan tetapi sekarang kegiatan Pramuka lebih kreatif lagi. Seperti yang sering diikuti oleh anak-anak kami dalam event lomba tingkat kabupaten. Contoh lomba membuat kreasi-kreasi yang berhubungan dengan kebudayaan lokal. Misalnya membuat miniatur Ringin Contong, desain baju dari bahan alam, poster, menyalin teks ke dalam tulisan aksara Jawa dan masih banyak yang lain
Rata-rata mereka yang tidak mengikuti kegiatan di sekolah disebabkan pengaruh pergaulan yang tidak baik di lingkungannya sekitar seperti nongkrong tidak jelas atau yang lain. Oleh karena itu pihak sekolah menerapkan kebijakan yang telah diprogramkan oleh pemerintah dengan harapan mereka bisa menyalurkn minat dan bakatnya. Alhamdulillah anak-anak pramuka memiliki bakat-bakat yang bisa dikembangkan. Alhasil mereka berhasil menggondol juara tingkat kabupaten."

Tentang Sekolah Ramah Anak (SRA) saya cuplikan penjelasan Bu Bekti dari akun facebooknya yang ditulis pada 24 Mei 2019 sebagai berikut.

SRA adalah Sekolah Ramah Anak yang secara definisi adalah sekolah yg aman, nyaman, sehat, asri, indah, inklusi tanpa kekerasan untuk menciptakan generasi yang tangguh berakhlak mulia.

Konsep SRA adalah hijrah hati, mengubah pola pikir dan cara pandang seseorang dalam mendidik dan membimbing anak. Sesuai dengan konvensi hak anak
Di mana di dalamnya sekolah wajib adanya pemenuhan atas hak anak, hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak partisipasi. Hak hidup, setiap sekolah bekerjasama dengan orang tua wajib memenuhi hak hidup atas anak. Hidup selamat di jalan, hidup atas makanan sehat, hidup atas aman bencana dan pengaruh baik narkoba maupun asap rokok serta informasi yang tidak layak.

Hak tumbuh kembang, setiap orang dewasa disatukan pendidikan wajib memahami dan memenuhi hak tumbuh kembang anak. Dimana didalamnya kita harus bisa menerima bahwa setiap anak mempunyai kecerdasan yang berbeda sesuai dengan 9 kecerdasan, anak punya gaya belajar yang berbeda dan anak punya kemampuan ketuntasa motorik sensorik yg berbeda yg bisa pengaruh pada tingkat konsentrasinya.

Hak perlindungan, setiap orang dewasa di satuan pendidikan berhak untuk melindungi anak dari segala macam ancaman dan bahaya baik secara fisik maupun mental

Hak partisipasi, setiap kita harus memberikan ruang dan waktu agar anak selalu ikut berpartisipasi untuk pengembangan kreativitas dan kritik atas apapun yang ada di sekitarnya.
SRA bukan membuat bangunan baru, tetapi lebih kepada ruh didalam penyelenggaraan pendidikan.

Bu Bekti adalah Fasilitator Nasional SRA dari KPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). 

Komentar

Postingan Populer