Isi Raport Siswa Selalu Membosankan Apapun Kurikulumnya. Mengapa?


Oleh Astatik Bestari
http://kampusdesa.or.id/isi-raport-siswa-selalu-membosankan-apapun-kurikulumnya-mengapa/


Saya diingatkan oleh facebook bahwa empat tahun lalu saya pernah menulis status facebook begini
"Masih berharap dan  mencari sekolah formal yang bisa memberi apresiasi kepada kemampuan siswa dalam mengaplikasikan ilmunya di kehidupan nyata yang nampak pada cara berakhlak  mulia kepada sesamanya dan berahalaq mulia kepada Sang Khaliq melalaui semangatnya untuk senang beribadah sosial dan ritual yang benar dan tepat.
Klise, melihat raport siswa yang cuma begitu-begitu saja yang dilaporkan kepada orang tua. Ya tentang nilai mata pelajaran matematika, IPA,IPS, fiqh, alquran, dan lain-lain. Demikian itu sebagai tolak ukur bagi siswa,  bahwa ia peringkat sekian dari sekian siswa dalam kelasnya.
Belum saya temukan report siswa yg mendefinisikan peringkat kelas siswa dengan tolak ukur yang antara lain ; ia yang gemar sholat dhuha, taat pada aturan sekolah, menghormati guru, menyayangi teman dan  nilai-nilai moral  lainnya. 
Sehingga ( mungkin) akhirnya masih banyak  moral-moral yang ( sedikit) mengecewakan di masyarakat dan ternyata pelakunya include insan-insan yang dulunya rangking kelas. 
Sadar betul, juga realistis tidak mudah menyusun instrumet    penilaian semacam itu bagi para pendidik. Namun, menyadari bahwa pendidik dan sekolah adalah salah satu  tempat bersandarnya harapan orang tua agar  anak-anaknya terdidik dan akhirnya menjadi makhluk-makhluk yang rohmatan lil'alamin. Tidakkah instrument penilaian itu akan mudah disusun? Sekali lagi dengan mengingat, membayangkan tentang harapan orang tua yg disandarkan kepada pendidk dan sekolah. 
Siswa-siswa itu memang sebagian besar waktunya di luar sekolah, lebih banyak di rumah dan lingkungan sekitarnya, tapi begitu hebatnya sekolah jika ia bisa memberi konstribusi besar terhadap kebaikan moral masyarakat dengan dimulai dari mengapresiasi ibadah sosial/ ahlak siswa juga ibadah ritual mereka dalam bentuk penilaian yang terukur dalam buku laporan siswa/ raport siswa".

Tanggapan komentar dari akun atas nama Kentar Budhojo
Pangkalnya dari orientasi kurikulum kita yang berbasis KKNI yang diimplementasikan dalam kurikulum berbasis kompetensi, membuat anak hanya seperti robot yang diperlukan dunia kerja, butuh kemampuan kerja yang terukur, yang kebanyakan hanya menyangkut pengetahuan (K3) dan kemampuan melakukan suatu kinerja standar (K4), sementara kaitannya dengan K1 (etika moral dan agama) dan K2 (kedewasaan dalam hidup bersosial di tengah manusia lain) kurang diperhatikan, atau malah tidak diperhatikan sama sekali.

Lalu saya tanggapi dalam komentar tersebut 
Pak, apa mungkin ya dunia kerja bisa diajak bekerjasama dalam hal ini, ya agar persyaratan untuk menjadi pegawai melalui proses penilaian ahlak , dan itu menjadi persyaratan utama?

Beliau menjawab 
karena "buruh" dianggap faktor produksi, atau lebih tepat "mesin produksi" yang penting kerja ... kerja ... kerja, tidak perlu akhlak karena menurut New Weberian ... akhlak itu malah bisa menghambat kerja sebagai homo economicum.
Tanggapan saya 
Pak, berarti sistem pendidikan kita terjajah oleh gaya kapitalis? Orientasinya materi melulu. Padahal, materi juga akan mudah diperoleh dengan beretika yang baik. Kira-kira begitu?
Beliau yang menjabat dosen salah PTN di Malang ini membalas
Panjenengan tidak merasakan? Standardisasi pendidikan menjadikan manusia kerja hanya untuk memenuhi standard yang kuantitatif, sementara itu pendidik yang mendidik dengan hatinya untuk menyentuh hati anak didiknya yang dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan cara yang hati-hati semakin langka karena sistemnya dibuat semuanya serba otak, serba rasional, serba logis; yang berbasis feeling dikatakan cengeng; padahal warna-warni kehidupan justru di hati bukan di otak.

Selanjutnya ada komentar dari akun atas nama Isa Ansori yang profilnya menjelaskan bahwa beliau anggota dewan pendidikan Jawa Timur. Berikut ini komentarnya.

Itu kembali kepada gurunya apakah didalam membuat indikator penilaian memasukkan vatiabel vriabel moral dalam penilaiannya, kebanyakan guru kita dalam penilaiannya hanya melihat faktor kognisi lupa disisi afeksi, apalagi gak pernah ada guru membuat indikator yg memuat capaian afeksi, monggo dimulai dari kita sendiri dengan membuat RPP yang partisipatif sehingga indikator afeksi juga bisa kita buat sebagai pijakan penilaian.

Dan dilanjutkan komentar beliau berikutnya setelah mendapatkan komentar balasan dari Pak Kentar  Budhojo
karena tuntutannya seperti itu mas Isa Ansori Motivator Pendidikan.
Jawab Pak Isa Ansori
Inggih bapak Kentar Budhojo, tapi sebetulnya ruang kelas itu kalau dipahami sebagai ladang jihad, maka guru tidak boleh seratus persen mengikuti aturan yg tidak baik dalam penilaian, guru adalah profesi mulia seperti profesinya para nabi, jadi guru harus pandai pandai menyelipkan kebenaran dan idiologi pendidikan yg menjadikan murid bermartabat dan bertanggung jawab, saya masih berkeyakinan kalau murid dilibatkan dalam proses perencanaan pembelajaran maka dia akan menjadi anak yg bertanggung jawab.
Nah, sampai sekarangpun tetap demikiankan? Raport siswa yang diterimakan tiap akhir semester, meskipun berorientasi pada pendidikan karakter ada KI-1 sebagai pengejawantahan nilai moral,  tetap rasanya garing tidak berdampak kepada hasil laku yang berubah secara signifikan. 

Telah diterbitkan oleh Kampus desa

Komentar

Postingan Populer