Takziah

Keponakan suami dan keluarganya dari PPTQ Nurul Qur'an Jogoroto


Takziah sering kita dengar saat ada orang yang meninggal. Takziah itu kunjungan seseorang atau sekelompok orang untuk menyatakan duka cita kepada keluarga atau kerabat yang berduka, umumnya karena ada salah satu anggota keluarga yang meninggal.

Mengutip dari https://islam.nu.or.id tujuan takziah adalah menghibur, mengajak sabar, membesarkan hati, dan meringankan besar kesedihan orang yang ditimpa musibah, baik ditimpa musibah kematian maupun musibah yang lain (14/2/2020).

Saya menyaksikan sendiri, ketika suami saya meninggal dunia, beraneka macam cara menyampaikan duka cita saya terima dari para tamu. 

 Terlepas dari etika dan akhlak bertakziah sesuai aturan agama, saya merasa salut dan berterima kasih kepada para tamu ketika bertakziah membacakan untaian doa dan tahlil.

Ada pula yang mengingatkan saya dengan ungkapan bijak agar saya bisa memaafkan diri saya sendiri, atas perasaan saya sering merasa bersalah karena ketika suami meninggal, saya tidak ada di dekatnya. 

"Takdir Allah SWT." Begitulah para tamu memberikan tanggapannya, memaklumi skenario Gusti Allah yang terjadi pada saya. Bayangkan, suami terkasih meninggal di saat saya masih di perjalanan pulang dari kegiatan workshop di Karawang Jawa Barat. Campur aduk, antar kaget, sedih, dan merasa bersalah.

Saya jadikan pelajaran pula sikap tamu saat bertakziah yang tenang dan diam mendengarkan saya bercerita. Mungkin tamu-tamu tersebut sudah paham apa yang disampaikan dr. Aisyah Dahlan (praktisi neuparenting skill) bahwa perempuan tiap hari mampu mengeluarkan 20.000 kata. Saya kira para tamu ini sedang memberi kesempatan saya untuk mengeluarkan 20.000 kata tersebut. Hehe, betapa beruntungnya saya dipertemukan Gusti Allah dengan tamu seperti ini. Mereka menyediakan indera dengarnya untuk mendengarkan cerita saya.

Saya jadikan referensi pula jika saya bertakziah, saya akan meniru gaya tamu yang menciptakan dream building untuk saya.

"Bulik setelah ini pasti semakin sibuk gih?" Ini pertanyaan sekaligus dream building bagi saya yang dilontarkan keponakan almarhum suami, seorang pengasuh PPTQ Nurul Qur'an. Pertanyaan ini sejatinya sebuah doa. Saya sebut doa karena kesibukan tersebut akhirnya jadi kenyataan. Setelah peringatan 40 harinya suami, saya mendapatkan amanah dari Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek sebagai salah satu penulis Panduan Pengembangan Bahan Ajar dalam rangka menyambut pelaksanaan Kurikulum Merdeka. 

Konsekuensi dari amanah sebagai penulis, saya mengikuti workshop di berbagai tempat, sebagai narasumber dan atau moderator bertajuk Pengembangan Perangkat Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan. Kesibukan saya tidak tanggung-tanggung, saya mengikuti workshop di Yogyakarta, Karawang, dan besok 21 s.d 23 Juni di Solo Jawa Tengah. Dulu hanya repot di sekitar ibu kota kabupaten, dan di depan laptop untuk zoominar, kini repot bepergian  antar provinsi.



Ada pula tamu takziah yang menawari saya mengajar di fakultas di almamater saya kuliah dulu. Tamu-tamu tersebut adalah para dosen di mana saya kuliah. Rasanya kegalauan saya menjadi pengangguran sirna sudah. 

"Setelah saya selesai menjalani masa berkabung, dunia saya tetap kinclong dengan karya dan kompetensi saya yang diterima banyak orang." Kata hati saya bahagia.

Tak ketinggalan, ada pula ungkapan dalam takziah para tamu saya, menyarankan saya untuk menikah lagi. 

"Wadauw!" Hati saya terkejut juga, walaupun ungkapan tersebut lumrah disampaikan oleh siapa saja kepada orang yang ada di posisi (status) seperti saya.

Nah, Anda kalau takziah, sudahkah meninggalkan hal baik kepada kerabat atau keluarga yang sedang berduka tersebut? Mohon izin menyampaikan pesan, hati-hati ya menyampaikan perkataan atau sikap kepada orang yang sedang berduka. Rumus bertakziah adalah memahami apa tujuan takziah itu sendiri.

Jombang, 20 Juni 2022

Komentar

Postingan Populer