Hati-Hati Menyampaikan Komplain, Ada Nasib Orang Lain yang Dipertaruhkan

 



Baru-baru ini saya menyaksikan video TikTok yang menayangkan ungkapan apresiasi seorang konsumen swalayan kepada pramuniaganya. Karena video pengguna TikTok ini, paramuniaga swalayan tersebut mendapatkan kenaikan jabatan. Pengguna TikTok tersebut mengajak warganet untuk menjadikan sosial media sebagai sarana mengapresiasi capaian orang lain, dan bukan sebagai media menghujat atau mengkritik orang lain.

Semakin modern dan berpengetahuan luas, sudah semestinya warganet humanis dalam menilai orang lain. Tak ada lagi menghujat, memotret, dan merekam yang diunggah di sosial media menjadi sebab nama baik orang lain tercemar, apalagi hingga menghilangkan mata pencaharian orang lain.

Sosial media hendaknya menjadi media atau sarana agar orang lain bahagia dan sukses. Memublikasikan capaian orang lain, mengapresiasi karyanya dengan ketulusan yang mengesankan.

Tak hanya di sosial media, saat menerima pelayanan publik dari pegawai atau pekerja yang tidak memuaskan, sebaiknya tidak keburu komplain kepada penyedia layanan publik. Dibalik komplain seseorang ada nasib pekerja atau pegawai yang dipertaruhkan. Selagi pelayanannya tidak mengancam keselamatan dan kesehatan diri sendiri dan keluarga, tidak menguras harta benda, dan tidak merusak keimanan, komplain semestinya ditahan. 

Kekecewaan seseorang atas hasil kerja orang lain biasanya tidak sebanding dengan dampak komplain itu sendiri. Bisa jadi karena komplain, pegawai atau pekerja yang memberikan layanan kurang baik akan dikurangi jam kerjanya, atau diturunkan jabatannya bahkan diberhentikan dari tempat kerjanya. Sisi lain yang menyampaikan komplain hanya dirugikan beberapa hal saja. Tidak adil bukan?

Tidak hanya komplain yang harus disampaikan dengan pertimbangan yang bijak, menanggapi kerja orang lain pun perlu mempertimbangkan kenyamanan pekerja tersebut agar melaksanakan tugasnya dengan baik.

Saya punya pengalaman saat menyaksikan mahasiswi keperawatan yang sedang praktik merawat almarhum suami saya. Ia memasukkan obat melalui selang infus sangat lama. Saya khawatir akan terjadi malpraktek. Kerja calon perawat ini saya awasi serius. Saya melihat ia tampak gugup. Seketika itu saya berpikir bahwa sikap saya ini telah mempengaruhi mental calon perawat ini.

"Mbak, saya tinggal mandi dulu ya." Tiba-tiba saya punya ide meninggalkan calon perawat agar dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa gugup.

" Dia dibekali pengetahuan dan dalam pengawasan dosen pembimbingnya, tak bakal terjadi apa-apa." Saya menenangkan hati dan pikiran saya.

Anda suka bersikap seperti apa dari dua hal ini, menjadi sebab orang lain sukses atau menjadi sebab orang lain gagal?

Jombang, 9 Juni 2022

Komentar

Postingan Populer