The Power of Kepepet dalam Dunia Pendidikan Era Pandemi COVID-19



Para pendidik mata pelajaran bahasa Inggris dari Madrasah Aliyah penerima bantuan Madrasah Education Development Project Asian Development Bank tahun 2011


Tentu saja catatan saya ini tidak meresensi bukunya  Jaya Setiabudi penulis buku The Power of Kepepet (2008). Ini terkait keterdesakan yang ada di dunia pendidikan, bukan di dunia bisnis.

 Apa saja yang kita peroleh akibat wabah COVID-19 yang melanda dunia lebih dari setahun ini? Kita tiba-tiba tidak saja masuk dalam suasana baru, tetapi juga  pola pikir dan tindakan yang harus beradaptasi dengan suasana baru tersebut. 

Yang paling tampak nyata saat pandemi COVID-19 ini adalah kita dituntut bisa memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Mau tidak mau, semua bentuk komunikasi  dilalui  secara virtual.  Tak ketinggalan dalam dunia pendidikan.

Awal pandemi COVID-19, bisa saja guru dari golongan generasi baby boomers bahkan generasi X pun ada yang mengelak belajar teknologi. Alasannya "sudah tua". Walhasil pembelajaran terseok-seok jika gurunya dari generasi baby boomers . Yang menyedihkan itu jika guru dari kalangan milenial tapi cara mengajarnya tidak secanggih pelabelannya sebagai generasi yang melek teknologi digital.

Sejalan dengan waktu pandemi COVID-19 belum juga menampakkan tanda-tanda akan berakhir, dua generasi tersebut akhirnya menyerah. Kini tak hanya seminar yang memakai aplikasi zoom, Google Meet atau aplikasi digital lainnya. Rapat kerja sekolah, tahlilan untuk mendoakan teman seprofesi yang meninggal, koordinasi kerja lainnya sudah bisa menggunakan aplikasi tatap layar. Semua kalangan, semua usia mau menerimanya. 

Di dunia pendidikan tak hanya aplikasi tatap layar seperti zoom dan Google Meet yang digunakan sebagai sarana pembelajaran. Aneka apikasi sosial media juga marak digunakan para pendidik. Selain itu dunia pendidikan kini semakin keren dengan munculnya aplikasi yang berlabel education , seperti google  workplace for Education, Canva for Education, dan Microsoft 365 for Education.

The power of kepepet akhirnya mendesak generasi baby boomers dan generasi X tak segan belajar dan memanfaatkan teknologi dalam melaksanakan pembelajaran virtual mereka.  Penguasaan dan pemanfaatan teknologi di dunia pendidikan, sepertinya kelar tanpa kendala yang berarti.

Dalam konteks lain seputar pendidikan, the power of kepepet rupanya belum mampu masuk pada pola pikir para orang tua yang mendampingi belajar anak mereka di rumah (Belajar Dari Rumah/ BDR). Merindukan kapan sekolah dibuka adalah ungkapan yang tak bosan dilontarkan ke pihak sekolah selain anak mereka sendiri yang menyampaikan. 

Tidak sedikit orang tua yang menyikapi pandemi COVID-19 ini adalah kejadian luar biasa yang nantinya akan berakhir. Sehingga mereka menunggu waktu tersebut. Mereka tidak merasa kepepet. Akibatnya, cara mendampingi belajar sama saja dengan sekolah yang tidak sedang BDR. Padahal, cara guru menyampaikan materi pelajaran sudah berbeda. Orang tua dalam golongan ini mungkin menganggap BDR hanyalah  mengalihkan tempat belajar dari sekolah ke rumah.

Di tengah ada orang tua yang merasa pandemi COVID-19 adalah tantangan untuk menjadi guru handal era pandemi COVID-19, ada golongan orang tua yang mendampingi belajar anaknya secara instan. Misalnya, jika guru memberi tugas agar mencari jenis binatang yang dipengaruhi oleh pembagian garis Wallace dan Weber melalui mesin pencarian di Google, orang tua tinggal mendatangi rental komputer. Anak tinggal menyetorkan tugas dalam bentuk cetak ke guru mata pelajarannya secara periodik bersamaan dengan pelajaran lain. Konon ada salah satu pemilik rental bercerita ke saya

"Mbak, saya di-print-kan tugas seperti anaknya  si Anu!" Rupanya, ini  the power kepepet yang tidak mau repot. Yang penting tugas anak selesai di hadapan gurunya. Perkara anak paham atau tidak tugas dari guru di sekolah, dipikir belakangan. Orang tua sudah dikejar tugas lain. Bisa saja keburu mendampingi belajar 1 atau  2 anaknya yang lain, karena waktu penyetoran tugas dibatasi.

Bujang sulung saya pernah bercerita juga, ia berjumpa dengan tukang becak yang membelikan anaknya gawai untuk pembelajaran daring. Uang yang dibayarkan ke penjualnya dalam bentuk uang recehan. Ini  the power of kepepet yang menimbulkan iba. Sama halnya siswa sekolah formal saya. Ia mengeluhkan tidak bisa masuk Google Classroom karena lupa kata sandi. Saya undang ke rumah membawa gawainya. Sambil mengajarinya mengatur ulang kata sandi, saya menemukan masalah dengan gawainya. Beberapa huruf tidak muncul saat dipencet, caranya agar muncul, posisi gawai diubah tampilannya ke  landscape .  Batin saya kala itu

" Sampeyan jadi cerdas dalam keterbatasan gawaimu, Nduk!" Seketika itu saya  percaya kalau warga masyarakat memang tak semua punya gawai, lebih-lebih yang kompatibel dengan kebutuhan BDR.

Sepanjang BDR berlangsung di tengah pandemi, terkait perilaku orang tua dalam mendampingi belajar anaknya, saya belum menjumpai ada kegiatan parenting program sekolah yang bertujuan menumbuhkan semangat berjuang dengan sabar dalam mendampingi BDR. Diharapkan  orang tua tak lagi repot ke rental komputer demi tugas anak, yang kenyataannya dikerjakan oleh penjaga rental komputer.

Orang tua mungkin perlu diberi bocoran isi SE Mendikbud No. 4  Tahun 2020 bahwa pembelajaran masa pandemi COVID-19 itu diharapkan memberi pengalaman belajar yang bermakna. Guru pun juga patut memedomani SE Mendikbud No 4 Tahun 2020 ini agar materi pelajaran dan tugas yang diberikan kepada peserta didiknya meninggalkan kesan proses belajar yang bermakna. Pembelajaran yang bermakna ini tentu saja maksudnya menambah kualitas wawasan pengetahuan lebih baik di era kegiatan yang serba dibatasi karena COVID-19.

Untuk para orang tua, jika  pihak sekolah telah memberi banyak kelonggaran dalam mendampingi BDR anak-anaknya, maka kelonggaran itu bisa dijadikan kesempatan untuk belajar agar kualitas pendampingan BDR lebih baik. 


Jombang, 29 Juli 2021

Komentar

Postingan Populer