Sudah Tepatkah UNBK bagi Pendidikan Nonformal Berlaku Tahun 2017 Ini?

Oleh: Astatik
Rencana diberlakukannya Ujian Nasional Berbasis Komputer ( UNBK) bagi pendidikan kesetaraan( pendidikan nonformal) yang  lebih banyak diselenggarakan lembaga nonformal swasta ( sebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat /PKBM) sesungguhnya mendongkrak semangat pengelola untuk mengelola layanannya lebih berkwalitas.
Saya pahami bahwa pemerintah berasumsi positif bahwa PKBM dapat menjalankan kebijakan tersebut. Patut bersyukur!

Pada konteks standart proses dan standar sarana prasarana di PKBM, perlu dipertimbangkan pula kebijakan ini akankah terlaksana dengan baik atau tidak. Menukil UU Sisdiknas 2003 tentang posisi  pendidikan nonformal di antara penyelenggaraan pendidikan formal

Bagian Kelima
pendidikan Nonformal
Pasal 26
(1)Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai  pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

 Sebagai pendidikan yang berfungsi sebagaimana dituangkan dalam ayat 1 pasal 26  dalam UU sisdiknas ini memang yang berlangsung di tengah masyarakat bahwa peserta didik nonformal adalah mereka yang terhalang masuk pendidikan formal karena urusan kemampuan berpikir, dan atau kemampuan dana pendidikan dan  atau kesempatan belajar yang terbatas. Ada pula yang terhalang masuk pendidikan formal karena tidak memenuhi syarat masuk pendidikan formal ( karena batas usia yang sudah lewat misalnya)

 Beda dengan peserta didik formal yang dapat dipastikan ketika mereka belajar di pendidikan formal sudah jelas memilki komitmen belajar dengan seperangkat keharusan yang tentunya mereka siap menaatinya. Mereka datang untuk mendaftarkan diri, mau berpakaian seragam yang telah ditentukan, masuk tiap hari rata rata  6 jam sehari dan komitmen komitmen lainnya. Andai ada sebagian peserta didik yang tidak mampu untuk mengikuti aturan aturan yang ada, penyelenggara pendidikan formal ada dukungan dana untuk meyelesaikan kendala ini untuk menyusun kegiatan pendidikan formal seperti tambahan pelajaran, kursus komputer, home visit, parenting dan lain lain yang dijabarkan dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah yang semuanya itu sudah didukung oleh dana semisal bantuan regular  dana BOS dan BOSDA.
Itu persoalan dukungan dana.

Selain persoalan dana, sebagai pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti dan atau pelengkap pendidikan formal, penyelenggara pendidikan nonformal berjuang keras agar mereka yang tak terlayani di formal tetap bisa belajar.Dengan kondisi real seperti ini, apakah mungkin peserta didik nonformal dimintai komitmen untuk melengkapi perangkat belajarnya dengan biayanya sendiri?
Saya memperoleh informasi, untuk mengikuti UNBK, sekolah formal ada yang meminta biaya ujian ini kepada peserta didiknya Rp 500.000 ( lima ratus ribu ). Ini tentunya tidak mungkin ditiru oleh sekolah nonformal ( PKBM), mereka mau belajar saja sudah bagus, kalau mereka dimintai biaya UNBK seperti sekolah formal,mungkinkah?
Belum lagi kemampuan mereka dalam mengoperasikan komputer. Sekali lagi intake di pendidikan formal lebih bagus dari pada intake di pendidikan nonformal.

Sarana dan prasaranapun sangat terbatas di pendidikan nonformal. Solusi menggabung  pelaksanan UNBK di sekolah formal masih menimbulkan beban berat bagi penyelenggara pendidikan nonformal, memikirkan waktu  untuk melatih peserta didik mengoperasikan komputer, mengingat mereka belajar tatap muka yang ditetapkan pendidikan nonformal kurang dari 100% ( kita baca kembali standar proses pendidikan kesetaraan, permen no 3 tahun 2008) Penyelenggara pendidikan nonformal juga berpikir keras menambah dana untuk biaya sewa komputer dan  biaya pemakaian listrik dan internet.

Tulisan ini hanya analisa dangkal, namun real perbedaan yang terjadi antara pendidikan formal dan nonformal nampak pada pasal 26 ayat 1 UU Sisdiknas tahun 2003 ini.


Penulis adalah Kepala Lembaga Pendidikan Nonformal PKBM BESTARI Jombang Jawa Timur.


Ora Ana Kebo Kabotan Sungu

Mepnews.id _ "Fida, Mengapa tidak dijaga ayahnya saja anak ini?" Tanya saya kepada murid Paket C yang membawa anaknya dalam kegiatan belajarnya.
"Kasihan, Bu. Ayahnya sudah seharian berkerja". Jawabnya jujur dan bukan mengeluh. Mirip suatu pernyataan hati, bahwa ia sebagai istri mampu bekerjasama dengan suaminya untuk menyelesaikan tahapan hidup yang mereka lalui bersama.

Suatu kali,di tengah kegiatan belajarnya, anaknya yang masih balita ini BAB dipopoknya. Ia keluar kelas, dengan kasih sayangnya ia  ceboki dan ganti popok anaknya ini. Setelah bersih dan rapi, ia kembali ke kelas melanjutkan belajar, dan sempat mempresentasikan hasil diskusi kelas di kelompoknya.

 Afida Yurika nama siswa ini, usianya kurang dari 20 tahun. Di kelas Paket C ini, ia tergolong siswa pandai dan aktif, tidak pernah absen dalam belajarnya. Dalam kondisi hujan, ia dan pamannya yang juga teman sekelasnya di Paket C selalu datang, dan ia tetap membawa buah hatinya ini.

Masih teringat saat ia mendaftarkan dirinya diantar suaminya di tengah hujan deras siang hari, energik sekali cara dia menjaga anaknya dari terpaan guyuran hujan. Melihat pasangan suami istri yang masih muda ini, membuka cakrwala baru bagi saya, "ternyata kedewasaan tidak selamanya diukur dari usia, namun mental yang siap untuk menjalani hidup"

Afida Yurika, siswa Paket C saya ini, saya bangga memiliki dia, sosok siswa yang ingin meningkatkan kwalitas pendidikannya pasca pernikahan dininya, dan ia ternyata siap dengan konsekwensi sebagai orang tua, tidak berpangku tangan dengan bantuan keluarganya, tidak mengeluh dan bisa memahami orang lain ( suaminya) sehingga ia ringan untuk berangkat ke tempat belajar Paket C dengan membawa buah hatinya saat cuaca bagus atau buruk di waktu malam.

Afida Yurika, sosokmu mempresentasikan peribahasa Jawa " Ora ana kebo kabotan sungu". Tidak ada orang tua yang merasa terbebani oleh kesibukan untuk merawat anaknya dalam kondisi apapun, itu makna peribahasa Jawa tersebut.
( Astatik, ketua penyelengara Paket C PKBM BESTARI Jombang)



Moral Baik Dimulai dari  Keihlasan Menata Alas Kaki ( Sandal dan Sepatu)

Mepnews.id _ Foto ini  saya peroleh dari postingan foto facebook salah satu sahabat facebook yang konsen dengan perkembangan dunia pendidikan. Ini situasi di Pondok Pesantren Subulussalam Semarang.

Foto ini mengingatkan saya masa masa menjadi santriwati. Waktu itu, menata alas kaki lebih diutamakan kepada para kyai dan keluarganya. Saya juga sampai kini menemukan tradisi "tawadhu" ini . Kadangkala sayapun meskipun bukan pengasuh pesantrennya, mungkin hanya tamu, sandal saya tertata rapi tinggal memakai, sebagaimana foto yang saya sertakan ini.
Saya menyimpulkan, berarti tradisi menata alas kaki oleh santri itu juga diperuntukkan bagi para tamu tamu pengasuh pesantrennya.

Saya sebut tradisi "tawadhu" karena menata alas kaki adalah prilaku yang menampakkan sikap kerendahan hati pelakunya. Bagaimana tidak rendah hati, alas kaki itu memiliki bagian  kotor di bawahnya, dengan ringannya mereka mau menata agar pemiliknya mudah memakainya. Selain mudah memakainya, alas kaki yang tertata rapi mempengaruhi orang berada di tempat itu tetap menjaga kebersihan alas kaki tersebut, sehingga sungkan untuk menaruh alas kaki seenaknya, menginjak yang sudah ada atau membiarkan bagian bawah yang kotor terbalik.

Kalau tidak punya sifat rendah hati, apakah mungkin seseorang mau melakukan hal itu?  Untuk orang lain? Saya yakin tidak semudah itu.

Kini rupanya tradisi ini tidak lagi diperuntukkan bagi para pengasuh pondok pesantren saja, tapi untuk tamu -tamu beliau, juga orang-orang yang sedang melepas alas kakinya .

Dalam foto yang saya sertakan ini, bahkan menata alas kaki dilakukan oleh temannya untuk teman teman lainnya yang berada di tempat ibadah. Tentu saja, siapapun tidak akan berani melepas alas kakinya sembarangan jika kondisi alas kaki sudah tertata rapi seperti itu. Ini termasuk indikasi berhasilnya tradisi menata alas kaki untuk membentuk karakter baik,antara lain:
1. Bagi yang menata alas kaki, ia adalah golongan orang yang rendah hati. Mau dengan senang hati melakukan hal itu untuk orang lain
2. Tradisi ini berdampak pada sikap menghargai orang lain,menghargai hasil dan kerja orang lain, sehingga menumbuhkan sikap tidak menaruh alas kaki semuanya sendiri.
3. Tertatanya alas kaki sedemikian rupa akan menjaga kebersihan alas kaki tentunya bersih pula kaki pemakainya.

Anda setuju dengan pendapat saya ini?

(Astatik, PKBM BESTARI)


Rumah,  Sekolah  Terbaik Bagi Pembentukan Ahlaq Mulia

Oleh : Astatik,S.Ag

Mepnews.id -  Rumah seringkali hanya dianggap sebagai tempat berkumpulnya keluarga, tempat berteduh di saat cuaca panas atau dingin, tempat yang aman dari bahaya yang mengancam. Sehingga anggota keluarga di dalamnya hanya melakukan aktivitas hidupnya standar saja. Makan bersama, nonton TV di ruang keluarga, ibadah yang kadang dilakukan bersama semisal sholat jamaah, kadang pula dilakukan sendiri-sendiri. Penyikapan kehidupan keluarga seperti ini berimbas pada pola hidup lainnya. Contohnya, anak-anak harus sekolah di luar rumah, anak-anak harus mengaji atau belajar ilmu agama di luar rumah pula. Adakalanya, bahkan anak perlu diikutkan bimbingan belajar karena alasan orang tua tak mampu mengikuti perkembangan dinamika pendidikan yang cukup pesat, atau alasan orang tua tidak memiliki banyak waktu untuk mendampingi anak-anaknya belajar dan ada pula, alasan mengikuti bimbingan belajar sebagai trend kekinian. Semakin banyaknya aktivitas anggota keluarga di luar rumah, maka semakin sedikit pula frekuensi anggota keluarga untuk bertemu.Baiklah,  tidak jadi masalah jika kita  berada di dalam kondisi tersebut, memang ada dampak baik dan buruknya, tinggal bagaimana kita  mengolah kehidupan keluarga agar lebih berkwalitas.

Dalam konteks kebutuhan terhadap pendidikan bagi anggota keluarga, sedikit paparan di atas bisa membantu kita membuat list kebutuhan dan kewajiban yang kita lakukan sebagai orang tua agar kehidupan keluarga seperti itu masih ada waktu untuk memasukkan pendidikan ahlaq bagi anggota keluarganya.

Di rumah sajalah orang tua sebagai penanggung jawab pendidikan ahlaq anak-anaknya yang bisa menjadikan rumah sebagai sekolah dan ruang sangat besar untuk mendidik anak-anaknya  sebagai pribadi yang terdidik dalam ahlaq mulia . Di sekolah, baik sekolah formal dan nonformal ahlaq masih sering disikapi sebagai mata pelajaran yang dipelajari saja, bukan materi pelajaran untuk diamalkan.Mereka menghafalkan ciri ciri ahlaqul karimah ( ahlaq baik) ahlaqul madzmumah ( ahlaq buruk). Mereka juga hafal hadist- hadist Nabi atau penggalan ayat suci tentang ahlaq mulia, lalu mereka ulangan dan ujian semester mendapatkan nilai bagus. Guru atau pendidikpun memberi nilai baik pada ulangan dan ujian tersebut dapat dipastikan diperoleh dari indikator keberhasilan belajar materinya, sedikit sekali menggunakan indikator keberhasilan dari pengamalan materi ahlaq. Bisa dimaklumi, karena instrumen penilaian sikap cukuplah kompleks dan guru memilki keterbatasan untuk melakukan hal itu,karena banyak item penilaian yang guru tidak mampu menyaksikannya. Misalnya, ahlaq membiasakan berdoa sebelum melakukan kegiatan,membiasakan berpamitan kepada orang tua saat melakukan kegiatan di luar rumah dan lain-lain .

Pendidikan ahlaq sebagai pendidikan yang mengatur rangkaian aktivitas hidup mencakup semua gerak aktivitas manusia, cara bergaul kepada manusia juga kepada Tuhan 'hablumminnaas wa hablumminallah' .
Maka dari itu, mengajarkan ahlaq kepada anggota keluarga itu tidak cukup hanya di sekolah, madrasah atau lembaga pendidikan dalam bentuk lain pula, tapi perlu dan lebih mudah diajarkan dan dibuat evaluasi untuk melihat indikator keberhasilannya pula jika  dilaksanakan di dalam rumah atau dalam institusi keluarga.

Kita simak aktivitas hidup kita yang tidak pernah lepas dari bimbingan ahlaq. Kita mulai dari bangun tidur. Disiplin bangun pagi untuk beribadah, baik sholat tahajud atau cukup sholat subuh saja. Kedua sholat tersebut  serta sholat wajib lainnya ada waktu yang telah ditentukan, "...innassholat kanat 'alal mu'mina ktabammauquta" (QS Annisa:103). Maka bila sholat belum waktunya atau lewat waktu tidak sah sholatnya. Ini salah satu pelajaran ahlaq akan kepatuhan kepada Tuhan, Allah SWT. Kwalitas keagamaan seseorang nampak bagaimana ia memperlakukan sholatnya, " Sholat itu tiang agama, barangsiapa menegakkan sholat ia ,menegakkan agama, barangsiapa yang meninggalkan sholat maka ia merobohkan agama" ( HR Bukhori Muslim).
Dalam sholat ini dianjurkan sangat agar dilakukan berjamaah.
Dalam kegiatan sholat yang durasinya tidak lama ini kita temukan lebih dari satu pelajaran ahlaq, ahlaq menghargai waktu, taat pada aturan dan disiplin.

Usai sholat subuh, ada kegiatan merapikan tempat tidur, membersihkan rumah, memasak dan lain lain. Rutinitas ini, walaupun dikatakan rutin tetap perlu diawasi pelaksanaannya, anak- anak tetap diajari untuk menata kembali tempat tidurnya, membiasakan mereka untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhannya.Mereka juga diberi pembiasaan untuk ringan membantu orang tua, seperti menyapu halaman rumah,menyapu lantai dan pekerjaan-pekerjaan yang pantas dikerjakan oleh anak seusai umurnya. Pembiasaan ini tentunya keuntungannya bukan saja lingkungan rumah jadi bersih, tapi mereka akan terdidik untuk menyenangi kebersihan, jiwa suka membantu dan pribadi mandiri yang tidak selalu mengandalkan peran asisten rumah tangga. Anak-anak uang terdidik mandiri suatu saat akan survive di luar rumah, semisal mereka mondok atau hidup di perantauan untuk meningkatkan jenjang pendidikannya, tidak lagi cengeng. Bisa mencuci baju sendiri tanpa mengandalkan jasa laundry, bisa masak tidak harus beli nasi bungkus atau malah kongkow di warung .

Adapun aktivitas lainnya yang masih melibatkan pendidikan ahlaq adalah menghadirkan doa dalam tiap gerak hidup kita. Anak-anak kita bina untuk suka berdoa sebelum dan sesudah makaan, doa masuk dan keluar kamar mandi, doa berpakaian dan lain sebagainya. Sepele sebenarnya, namun ini jauh lebih baik daripada  ringan mengucapkan kata-kata kotor dan umpatan yang awalnya karena dalam lingkungan terdekatnya mereka sering mendengarkan hal itu.

Dalam melakukan komunikasi lisan, dalam keluarga, adakalanya menggunakan bahasa nasional ( bahasa Indonesia) ada pula yang menggunakan bahasa daerah mungkin juga bahasa asing. Dari komunikasi lisan ini, kita juga diatur oleh nilai nilai kesopanan. Penggunaan bahasa Indonesia saja, kepada yang lebih tua tidak pantas menggunakan kata "kamu, engkau" kepada orang yang lebih tua. Intonasi yang digunakanpun juga perlu disesuaikan. Apalagi penggunaan bahasa Jawa, ada tingkatannya, mulai tingkatan ngoko yang diperuntukkan kepada lawan bicara yang usianya  setara dan kromo inggil yang dipergunakan untuk berbicara kepada orang yang kita hormati karena usia dan karena status sosial (misalnya bawahan kepada atasannya, anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya ).

Dalam tradisi Jawa juga ada norma kesopanan yang berupa prilaku. Berjalan di depan orang tua dan orang-orang yang kita hormati dengan merendahkan badan kita, berjalan membungkuk atau bahkan ada pula yang melipat kakinya sehingga praktis lututlah sebagai tumpuan, bukan telapak kaki. Tindakan kesopanan lainnya adalah bersalaman "sungkem" mencium tangan orang yang kita hormati.

Dalam rumah, kita juga bisa menciptakan pembiasaan melayani kebaikan kepada sesama.
Anak-anak, kita ajari menata alas kaki ( Sandal) ketika kita melepasnya, saat masuk tempat ibadah atau peristiwa apapun itu. Kebiasan menata alas kaki ini adalah bagian dari ahlaq menghormati orang lain dan menyukai pola hidup yang rapi dan bersih. Sandal yang tertata rapi, tidak mungkin akan diinjak oleh orang yang baru saja datang , ia akan ikut pula menaruh sandal dengan rapi .

Pamitan,minta izin ketika melakukan kegiatan, adalah bagian dari ahlaq mulia pula. Dalam peribahasa Indonesia hal ini disebutkan sebagai " datang tampak muka,pergi tampak punggung".

Tentunya masih banyak daftar kebutuhan kita terhadap materi pembentukan ahlaq mulia pada diri kita dan anggota keluarga.

Paparan di atas, tentunya laboratoriumnya berada di dalam rumah.Perangkat materi ahlaq, sasaran dan proses evaluasinya semua dalam kehidupan keluarga.

Meskipun di dalam rumah kita tidak punya alat ukur baku serupa standar penilaian di institusi sekolah, institusi keluarga yang mendiami rumah ini lebih punya waktu banyak untuk memberikan pembiasaan untuk membentuk ahlaq mulia, melakukan pengawasan dalam pengamalannya dan mengevaluasi pengamalannya untuk diapresiasi atau diperbaiki lagi. Tanpa angka-angka yang tertulis di raport, institusi keluarga lebih mampu memberikan dukungan dalam meraih prestasi hidup dalam bentuk membentuk pribadi yang bisa menempatkan diri di tengah masyarakat. Tinggal bagaimana komitmen kita untuk ajeg mengawal pendidikan ahlaq dalam keluarga ini.
Jangan lupa, untuk bisa ajeg, kita butuhkan pula masukan informasi dan ilmu pengetahuan sebagai modal untuk memperkaya wawasan kita sehingga pesan baik yang kita sampaikan dalam keluarga dapat diterima dengan baik.

"Umi, Apa Sih Hamil di Luar Nikah Itu?"

mepnews.id - Saya pernah juga mengalami kondisi di mana untuk mendapatkan hiburan dari keletihan setelah aktivitas seharian, sebuah TV dengan stasiun TV yang banyak, namun karena TV tersebut kondisinya tidak begitu baik, maka kami  cuma bisa melihat satu dua stasiun TV.

Sebagaimana saya menerima materi parenting, saya juga menemani anak saya ketika menonton TV.

"Umi, apa sih hamil di luar nikah itu?" Saya melihat sejenak tayangan TV. "Astaghfiirullah!" Saya berteriak dalam hati.

Rupanya kala itu, saya begitu lengah dengan tayangan TV. Ya, saya menemani sulung saya dengan mengerjakan tugas lainnya. Saya benar-benar terkejut dia menanyakan hal itu.

" Hamil di luar nikah itu, perutnya ada adik e, tapi belum jadi pengantin. Itu tidak baik,Kak" jawab saya sejenak setelah saya bisa menguasai diri  dari keterkejutan.

"Tapi, itu kan kehendak Allah,Mi?" Saya dikejutkan lagi dengan pertanyaan yang sudah memasuki ranah aqidah ahlaq.

Dengan hati -hati saya menjawab " Iya,Kak. Allah memang menakdirkan hambaNya dengan takdir baik dan buruk.Karena itu, kita harus berdoa agar Allah memberi kita takdir yang baik." Ia terdiam.

Entahlah, saya belum bisa menerima suatu konsep parenting yang banyak mengatur kehidupan anak seperti meniadakan TV di dalam rumah, agar mereka tidak terkontaminasi tayangan TV yang tidak mendidik. Kalau di rumah tidak ada, anak -anak yang mempunyai kehidupan sosial di luar rumah, masih ada kemungkinan melihat TV dengan bebas, di rumah temannya, misalnya.
Kehidupan sosial mereka di luar rumah beraneka ragam, dan kita tidak bisa memantauanya tiap detik. Memberi bekal agar dia bisa memfilter informasi yang masuk kepadanya jauh lebih bermanfaat selain menjaga apa yang mereka saksikan.


 Didiklah Anak Kita Sesuai Jamannya

Oleh : Astatik, S.Ag

Mepnews.id - Pertanyaan 'hamil di luar nikah'  oleh sulung saya ini ( baca tulisan saya yang berjudul "Umi, Apa Sih Hamil di Luar Nikah Itu?") saya ceritakan kepada beberapa teman saya. Ada yang menyalahkan saya " Kok iso sih anak pean dibiarkan lihat tontonan seperti itu?" ( Kok bisa anak Anda dibiarkan melihat tontonan seperti itu?)
Ada pula yang kuatir anaknya akan tanya sejenis itu kepada mereka." Enggih Njenengan saget jawab ngaten, lha kulo gih bingung jawab e?" ( Iya, Anda bisa menjawab, kalau saya, ya bingung jawabnya).

Anak-anak kita bukanlah barang mewah yang mudah cara kita menjaganya, dimasukkan lemari brangkas sudah aman.Anak-anak kita itu adalah manusia yang memiliki akal pikiran, memiliki rasa dan karsa ( keinginan). Sebagai makhluk sosial, mereka juga butuh bersosialisasi dengan orang  lain, misalnya :teman sebayanya, teman bermainnya dan anggota masyarakat sebagai orang-orang yang berada dalam lingkungan sosialnya.

Satu keniscayaan, lingkungan sosial yang memiliki aneka ragam budaya, minat, dan kebiasan akan dijumpai  anak-anak kita. Cukupkah kita hanya menghilangkan keberadaan TV dalam rumah kita agar informasi negatif tidak masuk dalam referensi pengetahuannya? Bagaimana dengan suara lagu dangdut "Keong Racun" yang diputar keras oleh tetangga kita? Mungkinkah kita akan menyiapkan alat penutup telinga agar mereka tidak mendengarkan hal itu?

Kondisi sosial masyarakat yang beraneka ragam ini saya maknai sebagai sumber belajar bagi anak-anak saya. Saya akan apresiasi suatu peristiwa  baik secara terbuka di depan anak saya dan saya jelaskan dengan gaya bahasa dan tingkat pengetahuan mereka ketika mereka menjumpai atau menerima informasi yang tidak baik bagi perkembangannya.

Untuk bisa menjelaskan dengan penjelasan yang tepat dan baik maka kita butuh masukkan informasi dan ilmu pengetahuan, tidak sekali dua kali tapi tiap saat kita harus memperbarui pengetahuan kita,tidak saja tentang pendidikan untuk anak-anak kita, tapi semua ilmu pengetahuan kita berusaha untuk mengetahuinya.

Penguasaan orang tua tentang internet selain untuk mengecek aktivitas anak, juga sebagai alat  untuk mencari  informasi dan ilmu pengetahuan.
Mengikuti seminar pendidikan,membaca dan berpikir tentang peristiwa di lingkungan kita sebagai  referensi kita untuk berpikir obyektif dalam menghadapi perkembangan nalar dan pergaulan sosial anak-anak kita.

Yang tak kalah penting adalah kita perlu ingat peribahasa "Buah   jatuh tak jauh dari pohon" bahwa anak-anak kita adalah gambaran diri kita. Marilah bersiap untuk melihat gambaran kita pada anak kita dengan berprilaku baik.

Jika semua upaya telah kita lakukan,jangan lupa untuk meminta penjagaan keselamatan dunia akhirat anak-anak kita dari Dzat Maha Mengetahui, Maha Kuasa atas segala hal.
Semoga kita menjadi golongan orang tua yang hebat dan beruntung, dikaruniai anak-anak yang bisa mengendalikan zaman dan peradabannya.Aamiin.

Komentar

Postingan Populer