Perempuan Terpapar Radikalisme, Apa Pengaruhnya Terhadap Keluarga?



Oleh Astatik Bestari 



Berita  tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya karena unggahan status sosial media istrinya mengusik pikiran saya. Khalayak sudah paham sebab pencopotan itu karena mereka dinilai berujar secara tidak pantas di media sosial, terkait kasus penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto. Saya tidak membahas seputar  penusukan ini lebih jauh. Selain sebagai istri  TNI, mereka juga ibu bagi anak-anaknya,  menurut ajaran di agama saya,  ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Tentu untuk menjadi sekolah bagi anaknya ibu harus memiliki sekian ilmu pengetahuan untuk mendidik anak-anaknya agar tumbuh dan berkembang baik sesuai jamannya dan tentu saja menjadi generasi unggul dalam kebaikan.

Kasus istri TNI yang notabene ibu bagi anak-anak mereka yang dinilai tidak etis dalam bersosial media ini dinilai oleh banyak kalangan bahwa mereka diduga terpapar paham radikalisme. Apa itu radikalisme? Menurut Badan Nasional Penanggulagan Terorisme ( BNPT) , radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Sedangkan cirinya menurut BNPT yang bisa dikenali adalah  dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan
orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah),
3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner
(cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Menyoal radikalisme yang pelakunya dari kaum ibu ini, saya  teringat beberapa peristiwa-perstiwa berikut ini.

Peristiwa  15 Mei 2018 di Surabaya, 3 hari setelah teror bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak dalam satu keluarga, di tanggal   15 Mei saya pernah   menulis status facebook yang menyoal  tanyangan acara religi salah satu TV yang mana  anak sulung saya heran dengan konten ajaran yang disampaikan berupa larangan ziarah ke makam wali. Stasiun TV ini beberapa hari kemudian muncul dalam pemberitaan online  bahwa tayangan religinya ada yang tidak sesuai dengan aqidah keluarga saya maupun mata pelajaran di sekolah dan tentunya hampir seluruh umat Islam di negara ini. Mengingat pemberitaan ini, saya tulis dalam status facebook saya kurang lebih begini

 " Kakak, kalau lihat TV yang tayangannya tidak sama dengan yang diajarkan umi, abi, guru-guru di MI dan di TPQ, pean percaya yang diajarkan umi, abi dan guru- guru saja geh" .

Status ini saya tulis tahun 2013 lalu. Tiga tahun kemudian ada pemberitaan Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar. Gerakan ini mendadak heboh setelah seorang dokter bernama Rica Tri Handayani dan anaknya di Yogyakarta menghilang sejak 30 Desember 2015 lalu.Dokter Rica kemudian ditemukan di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 11 Januari 2016. Dari hasil penyelidikan, dokter Rica diketahui adalah anggota Gafatar. Dia menjadi anggota sejak 2012. ( Liputan6.com, 20 Januari 2016). Gafatar yang diketahui sebagai organisasi yang menghembuskan ajaran sesat inipun di Jombang sudah ada titik-titik yang digunakan oleh Gafatar Jombang atau organisasi sejenis sebagai basis diantaranya di desa Ngumpul, kecamatan Jogoroto, kemudian di Denanyar dan Plandi, kecamatan Jombang Kota (Surya.co.id , 13 Januari 2016).

Pada Minggu 13 Mei 2018  sampai Rabu (16 Mei 2018) terorisme muncul kembali setelah tragedi Kampung Melayu pada 24 Mei 2017. Mengejutkan pula karena jaringan terorist yang menyerang 3 gereja di Surabaya pengeboman tidak lagi dilakukan oleh pria, tapi juga anak dan istri. Saya terhenyak, heran dan kuatir. Begitu dasyatnya serangan radikalisme mencuci otak mereka hingga melakukan tindakan yang tidak bisa dinalar akal dan tidak dibenarkan agama (membunuh dan bunuh diri ajaran manapun melarang) yang melibatkan anak dan perempuan, satu keluarga. Betapa beratnya pendidikan keluarga dengan kepungan informasi berisi terorisme dan aliran sesat ini. Tentunya orang tua tidak boleh lengah, orang tua harus semakin membekali dirinya dengan pengetahuan agar bisa memberi penjelasan yang tepat tentang dinamika informasi dalam hal ini radikalisme, terorisme dan aliran sesat.

Keluarga memiliki peran sebagai benteng bagi pertumbuhan bibit radikalisme anak-anak muda. Data BNPT memperlihatkan lebih dari 52 persen narapidana teroris yang menghuni lembaga pemasyarakatan berusia 17-34 tahun. ( A Safril, Jawa Pos, 15 Mei 2018).

Kenyataan ini membukakan mata saya, bahwa aliran sesat, radikalisme dan  terorisme tidak saja ada di pemberitaan media elektronik maupun media online yang jauh dari pandangan kita,  tapi kenyataannya ada di sekitar kita, di sekitar keluarga kita dan anak-anak kita. Media -media tersebut juga mudah diakses oleh keluarga kita, sehingga kita, anak-anak kita mengetahui kejadian apa saja di luar rumah termasuk gerakan gerakan yang berbau terorisme, pemikiran radikal maupun aliran sesat. O ya,
menyaksikan Gafatar kala itu, lagi-lagi saya berpesan kepada anak saya.

"Kelak, kalau kalian jauh dari umi dan abi untuk melanjutkan sekolah,  dan di sana ada pengajian atau kumpul-kumpul ngomong soal agama, kalau ada yang tidak sesuai dengan yang diajarkan umi dan abi atau bertentangan dengan pelajaran jaman sekolah MI , kalian tanyakan dulu kepada umi, abi atau guru- guru MI dulu.." Saya berpesan seperti ini karena anak saya usia madrasah ibtidaiyah waktu itu. Saya berharap, pesan -pesan masa kecilnya akan diingat terus di masa yang akan datang. Saya merasa penting berpesan seperti itu, karena saya tidak tahu apa yang direncanakan oleh penyebar aliran sesat dan pemelihara sel tidur radikalisme kelak. Saya 'njagani' agar anak -anak punya komitmen tepat dan benar dalam menjalankan agamanya di eranya nanti. Dan kekhawatiran saya ini beralasan dengan kejadian pengeboman pelayanan publik menjadi sasaran gerakan terorisme .


Perihal radikalisme ini, perempuan sebagai orang tua, bersama suaminya dipastikan memiliki tugas untuk anak-anaknya tidak saja seputar urusan akademik sekolahnya ( formal,  nonformal ,informal) dan tata krama bermasyarakat, tapi  urgent membekalinya aqidah ahlaq di tengah berhamburannya ideologi sesat  lalu berwujud radikalisme ; aliran sesat dalam rupa komunitas kajian keagamaan, organisasi terlarang  menyusup di denyut nadi aktivitas hidup masyarakat sehingga dapat mereka saksikan kapan saja. Jangan tunggu sekolah yg bergerak, kelamaan.

Semua orang tua sudah pegang handphone, selain untuk bisnis, "say hello' dengan kawan nun jauh di sana,  berhaha -hihi dengan komunitas; handphone adalah jendela bagi orang tua untuk mengetahui  informasi lebih banyak. Jangan hanya nge-share tentang korban-korban  terorist, menulis kecaman di status sosial media saja,  mari kita berbisik sayang kepada anak anak kita

" Anakku, kalau kalian diajak beribadah dengan berjihad lalu pahalanya dapat surga dan bidadari, maka taat pada orang tua juga ibadah, membantu sesama di sekitar kita juga ibadah, sholat berjamaah , zakat, puasa , berhaji juga ibadah. Kalau ada orang lain selain ayah dan ibu , guru kalian sekalipun mengajari kalian yg tidak sama diajarkan oleh ibu dan ayah , guru ngaji kalian, guru- guru senior  kalian di sekolah , jangan percaya pada nasehat, atau pelajaran atau cerita aneh aneh tersebut ya".

Saya kira memang kita harus lebih banyak belajar, membaca ( tulisan dan situasi) ,banyak mendengar karena indera dengar juga alat menerima informasi untuk melawan radikalisme, terorisme, dan aliran sesat dari pola pendidikan keluarga. 













Komentar

  1. Assalamualaim wr wb
    Saya sependapan dengan apa yang Bunda Astatik tilis itu
    Saya sependapat
    Sebagai seorang ibu ada harus bisa membeeikan arahan atau pandangan yg positif pada keluarganya terutama anak" nya, salah satunya agama , ahlaq , tatakrama dalam bergaul dan bermasyarakat, dan saya juga ingin menanggapi soal faham radikalisme yg bisa saja akan mengarah menjadi golongan terorisme, untuk itu saya
    Tidak ingin keluarga saya salah dalam menanggapi berita" yg belum dia faham atau ikut" an, dan sifat egois itu tidak bolek tumbuh dalam diri kita , buang jauh" karna itu akan menimbulkan hilangnya rasa empati terhadap sesama , tidak mau menghargai perbedaan tidak mau pendaptnya di salakan atau di protes , saya ingin semua keluarga berahlaq bermartabat berbuat baik dan bermanfaat untuk banyak orang .
    Demikian Sedikit pendapat saya..,,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer