Pendukung Capres Itu Raja Ngeyel? Tidak Juga

Oleh Astatik Bestari


Ini postingan facebook saya tahun 2017. Sengaja saya posting di blog saya saat ini karena saya melihat banyak sekali di sekitar kita baik di dunia nyata ataupun di dunia maya, eyel-eyelan alias kekeh dengan pendapatnya terkait dukungan politiknya di pilpres April 2019 mendatang. Ini sejalan dengam status kawan facebook saya Anwar Rachman bahwa salah satu pribadi yang sulit dinasehati adalah pendukung capres.https://m.facebook.com/story/graphql_permalink/?graphql_id=UzpfSTEwMDAwMjI2MDY3NjU4OToxODQ5OTg1MzY4NDIwMTM0 
Pada masa sekarang ini, pilpres kurang 2,5 bulan, sepertinya eyel-eyelan yang diawali dengan debat biasa saja menjadi kekeh dengan membenarkan pendapatnya sudah bukan hal tabu lagi, memprihatinkan. 

4 hari lalu, saya menjadi teringat dengan status facebook saya yang saya tulis jadi satu di catatan saya ini. Ya, teman facebook saya sempat disanggah habis-habisan oleh teman facebooknya menyoal dukungan capres. Menyedihkan, waktu berjam-jam dan tulisan komentar yang panjang lebar yang menampakkan kalau ia tidak suka dengan status yang ditulis teman saya ini. Saya yang waktu itu ikut berkomentar dan direspon oleh kawan saya inipun dikomentari. "Ah, apa sih maunya orang ini,  space komentar orang lainpun ia ikut nimbrung?" Batin saya kala itu. Saya maklumi juga space komentar sosial media tersebut bisa untuk siapa saja . Tapi, rasanya kurang pas saja, karena ia sudah berkomentar di space komentar umum, masih juga ingin berkomentar di space yang mereply komentar saya. Tidak rela dikomentarinya? Ah, ndak juga. Saya kira berlebihan berkomentar panjang lebar di lapak orang lain. Orang ini bukan pendukung kedua capres nampak dari komentar yang ada direply komentar saya 
Kurtubi Zaenuddin lho, yg nyapres bukan saya lho ya. Pak prabowo yg nyapres.hehehe.  Jadi terserah beliau mau maju terus atau tidak. Tak ada larangan.sama sprti bu khofifah. Toh akhirnya jadi juga... 

Kalau saya ini bukan pendukung siapapun. Atau memgusung siapapun.

Saya  hanya warga negara yg menggunakan hak politik saya utk memilih atau bahkan tidak memilih. 

Mengenai pilihan,  saya adalah termasuk pemilih realistis dan rasional. bukan pemilih  ir rasional atau takliq buta.

Saya akan mengkaji sesuai dg persepsi dan pemahaman yg saya pegang. Memilih bukan berdasarkan fanatisme, tapi memilih berdasarkan keyakinan dalam agama yg saya yakini, yaitu memilih pemimpin yg paling sedikit mudharatnya bagi rakyat indonesia. " jika ada dua pilihan yg sama buruknya  jangan ditinggalkan semuanya. Tapi pilihlah yg paling sedikit mudharatnya "  . Itu yg selalu diajarkan oleh Abi saya... 

Nah, masalahnya adalah pilihan tersebut bisa jadi sama atau bisa jadi beda antara saya dg bapak. Atau bahkan mungkin yg lebih ekstrem adalah memilih untuk tak memilih ...".  



Batin saya waktu itu  Aih...segitunya ya?"
Saya tak membalas komentarnya sama sekali. Saya posting saja status facebook saya tahun 2017 dengan situasi tersebut, seperti tertulis berikut ini.

Saya memahami bahwa diskusi tentang suatu topik baik dalam majelis dunia nyata atau bahkan majelis diskusi di dunia maya serupa group sosial media sebagai bagian mencari ilmu pengetahuan dan jika mampu ikut juga berbagi pengetahuan pula.

 Bahwa ada baik dan buruk yang didiskusikan bahkan diperdebatkan.

Ketika menemukan & menyaksikan kebaikan pendapat dari topik yang didiskusikan,  selayaknya kita sportif mengakuinya & memberi apresiasi. Jangan diplintir karena tidak menguntungkan kepentingan kita. Andai menjumpai keburukan, alangkah arifnya jika diminimalisir dengan cara yg arif pula, diberi penjelasan yang sederhana agar terkesan kita tidak sok bisa, yang akan memperburuk kesan kepada mitra diskusi kita. Jika mereka tetap kekeh dengan idenya, ya kita tidak perlu lama lama untuk sakit hati karenaa tidak sejalan, kita jadikan saja itu pelajaran berharga agar kita tidak demikian.

Ini cara saya belajar kepada orang lain di sosial media juga di dunia nyata: mengosongkan hati dan pikiran dari rasa PeDe bahwa pendapat saya pasti benar. Dalam diskusi sampai memunculkan perdebatan misalnya, tidak penting memenangkan perdebatan,  yang penting itu saat berdiskusi saya masih nyaman berada di tengah mitra diskusi saya sehingga saya tetap bisa berkesempatan belajar.

 Mengedepankan ego " bahwa saya pasti benar" akan jadi bumerang bagi saya untuk berkomunikasi dengan orang lain. 

Semuanya tetap kembali kepada Anda, menyukai memenangkan pendapat sendiri agar dipahami orang lain, atau mengorbankan kepentingan ego pribadi demi menjaga hubungan baik dengan kawan melalui tidak menukikkan argument pendapat kita agar meninggalkan kesan baik yang sebenarnya justru meninggalkan kesan tak baik. Raja ngeyel tidak saja ada di tahun politik seperti saat ini, tapi kapan saja terjadi saat adu pendapat. Semoga kita dianugerahi Gusti Allah dengan sikap dan sifat menghargai dan rendah hati di antara sesama kita, sehingga berdebat tak harus bertemu pada kemenang tapi pada pola pikir memahami orang lain.

Komentar

Postingan Populer