Membeli Terompet Tahun Baru; Demi Kemanusiaan atau Sekedar Perayaan?





Oleh Astatik Bestari 
Kemarin 3 Desember 2018 pagi hari,  saya mendengar berita di RTV yang mengabarkan tentang geliat ekonomi masyarakat jelang tahun baru 2019. Tentu saja hal ini berhubungan dengan perayaan tahun baru yang diramaikan dengan pernak -perniknya seperti terompet. RTV ini mengabarkan bahwa di Jamblang Cirebon Jawa Barat saat ini para petani beralih aktivitas menjadi pembuat trompet tahun baru. Saya jadi teringat catatan saya setahun lalu tentang terompet ini. Bagi Anda yang belum membaca catatan saya tersebut, berikut ini beberapa paragraf catatan saya terkait hal tersebut dengan judul "Terompet Tahun Baru di antara Nilai-Nilai Kemanusiaan".

Pada catatan sebelumnya tentang topik kemanusiaan atau humanisme, saya membahas tentang postingan larangan mengucapkan selamat natal bagi muslim dalam sosial media yang perlu menjaga perasaan saudara dalam kemanusiaan ( non muslim), juga tidak mudah menilai berdosa yang dilakukan oleh seseorang yang terluka hatinya karena postingan larangan itu. Catatan berikut ini masih dalam gagasan tentang kemanusiaan dan keimanan. Tentang membeli atau  meniup terompet tahun baru.

Menarik untuk ditulis postingan  Dr. Djuwari ( dosen Perbanas) di WAG Penulis Utama MEPNews 1 Januari 2018 lalu;  postingan  foto   penjual terompet yang tertidur pulas dengan penjelasan di bawahnya " Karena tidak ada yang beli ia tertidur lelap" . Foto berikutnya menunjukkan foto yang di-zoom model terompet yang dijual pedagang tersebut dengan penjelasan di bawahnya "Saya bangunkan, kemudian saya beli (meski tidak pernah saya tiup terompet tersebut).Saya tanya, namanya Ngamiran, dari Wonogiri, kos di wilayah Wage Sidoarjo, Rp 150.000/ bulan".  Membaca dua penjelasan ini dan melihat foto pedagang terompet yang tidur lelap, membuat saya merasa bersalah atas postingan di social media saya setahun lalu yang berisi larangan membeli terompet dengan dalih mempengaruhi tingkat kesehatan pembelinya, karena melalui uji tiup dari mulut ke mulut yang belum tentu sehat. Saya juga sering mengetahui berseliweran postingan pendapat  di social media yang pesannya larangan meniup terompet untuk menandai pergantian tahun masehi  karena hal itu menyerupai kebiasaan agama lain.

Tentang postingan saya setahun lalu, mengundang komentar pro dan kontra sahabat sosial media saya yang waktu itu saya posting di facebook. Kala itu, saya tersadar dengan komentar yang intinya berisi ketidaksetujuan isi pesan dari postingan saya. " Kasihan penjual terompetnya, kalau tidak ada yang membeli ". Saya juga merasa tidak enak hati dengan komentar pro dengan saya namun dikaitkan dengan standar keimanan seseorang dalam hal ini urusan terompet tahun baru. Saya benar -benar illfeel karena si penulis komentar ini  menulis komentarnya bahwa urusan mengupayakan nafkah keluarga bisa berdagang lainnya,  agar terhindar dari menjual terompet. Apakah mudah mencari pekerjaan seketika itu berbanding lurus dengan komentarnya? 

"Postingan foto  Dr. Djuwari tentang penjual terompet yang terlelap ini apakah dampak dari menyebarnya/  viral pendapat larangan membeli terompet ini" Tiba-tiba saja saya berpikir demikian saat melihat foto penjual terompet tersebut. "Betapa dasyatnya pengaruh sosial media mempengaruhi pola pikir dan tindakan manusia". Ini asumsi saya selanjutnya. Rasanya saya juga punya peran atas perubahan ini, rasanya saya juga punya peran penyebab penjual terompet ini tertidur karena sepi pembeli.Itulah yang kini berkecamuk dalam hati saya.

 "Astaghfirullahal'adhim, ampuni saya atas kecerobohan saya memposting larangan membeli terompet ini, Ya Allah!" Saya memang tidak berpikir sejauh ini sebelumnya, bahwa ada orang-orang yang menafkahi keluarganya melalui penjualan terompet . Saya juga belum membuktikan bahwa ada penyakit yang didiagnosa penyebabnya karena usai meniup terompet yang dijual para penjual terompet keliling itu. . Saya juga belum pernah membaca dan mendengar pendapat bahwa kerusakan iman seseorang  karena  penggunaan terompet tahun baru . Bagaimana dengan aktivitas yang jelas- jelas melanggar norma agama, hukum dan susila seperti misalnya berburuk sangka, menggunjing, menebar kebencian, menyebar berita bohong hingga menyulut api permusuhan antar sesama , dan tindakan kriminal di tengah masyarakat? Apakah hal itu tidak mempengaruhi kadar keimanan seseorang?  Saya juga belum menemukan kabar yang valid bahwa penjualan dan aktivitas meniup  terompet ini bagian dari pesanan pihak tertentu untuk merusak iman seseorang.  Saya jadi ingat tulisan saya sebelumnya dan saya cuplik di sini.
" Inikah namanya cerdas dalam beriman?"

Saya lupa, bahwa terompet tahun baru ini sering saya jumpai yang menjual adalah para pedagang kecil mainan anak-anak, bukan mini market atau swalayan. Pembuatnyapun tidak berasal dari kalangan pengusaha besar, namun dari pengrajin kecil yang mereka akan mendapat untung besar saat menjelang tahun baru masehi.
Mungkinkah saya dan mungkin kita semuanya termasuk penganut agama yang cerdas dalam beriman ketika kita mengabaikan sisi kemanusiaan dalam menyikapi para penjual terompet ini? Apakah sikap  ini adalah pengecualian dari pesan Nabi Muhammad Saw. yang artinya 
"Sayangilah yang berada di bumi, niscaya yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. At Thabrani)

Catatan ini dalam rangka menasehati diri saya sendiri, dan saya berbagi dengan pembaca agar tidak menjumpai penyesalan seperti saya saat ini.

Catatan saya ini telah dimuat Jawa Pos Radar Jombang pada akhir tahun 2017 lalu.


Komentar

Postingan Populer