Beragama yang Humanis di Era Digital



 Ini catatan saya yang sempat published di media cetak ( Jawa Pos Radar Jombang) dan media online tahun 2017 lalu menyoal tentang peringatan hari besar keagamaan pada bulan Desember yaitu hari Natal.
Menjelang hari Natal tahun 2017 ini mulai bermuncul postingan pendapat yang membahas tentang ucapan selamat hari Natal atau sebaliknya membuat postingan pendapat  larangan bagi muslim untuk mengucapkan Natal. Saya tidak heran, dunia digital selalu menyajikan hal-hal yang kontekstual untuk diikuti, tahun -tahun sebelumnya juga bermunculan postingan di sosial media yang menggagas hal itu. 

Namun ada yang tidak biasa di sosial media yang saya ikuti, tepatnya di salah satu group sosial media Whatsapp . Saya terkejut waktu itu ( 24 Desember 2017) sekitar jam 21.26 salah satu anggota group ini memposting larangan mengucapkan selamat hari Natal bagi muslim kepada umat Kristen. Pada group WhatsApp yang lain juga ada postingan serupa, dan saya anggap biasa saja. Mengapa saya terkejut dan terusik untuk berkomentar, karena dalam group tersebut ada anggota yang beragama Kristen. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan mereka dengan postingan seperti itu dalam group sosial media yang tertutup dengan anggota group yang spesifik tentunya.

Tidak terlalu lama salah satu anggota group yang beragama Kristen, kebetulan juga memiliki pengaruh dalam hubungannya dengan pekerjaan di dunia nyata bagi seluruh anggota group berkomentar pada intinya menyalahkan anggota yang memposting pendapat tentang larangan  mengucapkan selamat hari Natal, seolah hal itu merupakan perbuatan dosa, "Tidak cerdas dalam beriman" begitu salah satu tanggapan orang Kristen ini.

Satu dua tiga anggota group juga berkomentar termasuk saya. Dua anggota lainnya adalah seorang muslim yang dulunya beragama Kristen dan yang lainnya saya kurang tahu apa agamanya.

Komentar pertama saya hanya menulis "Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.  Selamat merayakan Natal, bagi sahabat-sahabat yang merayakannya".  Saya berharap dengan komentar saya ini, dapat mewakili pendapat bahwa beragama itu tetap perlu menjaga perasaan agama lain dalam hal ini soal mengucapkan selamat Natal.

Rupanya postingan larangan mengucapkan selamat Natal ini begitu melukai anggota group tersebut walaupun saya sudah berkomentar demikian. Ia lanjut berkomentar melarang anggota group untuk memposting pendapat yang belum jelas kebenarannya, nampak dari komentarnya ini suasana hati yang sedang marah. Membaca komentar yang berkesan larangan dan dianggap hoax ini, saya pahami bahwa anggapan hoax yang dimaksud dalam konteks ini adalah tentang larangan mengucapkan natal pada postingan awal tersebut. 

"Wah, ndak bener ini!" saya membatin saat membaca larangan tersebut.  Bagaimana mungkin orang ini berpendapat hoax atas postingan anggota group yang muslim ini, sementara ia beragama Kristen, tentu tidak pada tempatnya berpendapat demikian bukan? Karena hukum yang ditetapkan masing masing agama berbeda. Membuat justifikasi bahwa postingan tersebut hoax bisa pula menyulut ketersinggungan anggota group yang muslim. Saya berkomentar lagi di group tersebut , bukan pendapat saya tapi saya memposting tautan berita dari NU online http://www.nu.or.id/post/read/84397/soal-larangan-ucapkan-selamat-natal-ini-jawaban-menag yang memuat berita pendapat menteri agama tentang larangan mengucapkan selamat Natal tertanggal 21 Desember 2017. Keesokan harinya, suasana group masih belum cair walaupun ada komentar ringan tentang acara mengisi liburan dan sesekali ada ucapaan selamat Natal. Dari dinamika yang menyoal tentang larangan mengucapkan selamat Natal bagi muslim kepada umat Kristen ini di group  yang saya ceritakan di atas,  saya menyimpulkan seperti berikut ini.

Toleransi menurut saya itu tidak melukai keimanan kita dan tidak melukai hati atau perasaan orang yang berbeda agama dengan kita dalam hal laku, perkataan bahkan kata hati kita.

Orang yang seagama dengan kita perlu menjaga perasaan orang yang tidak seagama dengan kita dalam hal posting suatu pendapat di sosial media walaupun pendapat itu benar terbaca orang yang berlainan agama dengan kita. Cukuplah kita dan seagama dengan kita postingan itu diberikan. Jadi, berhati -hati memposting pendapat yang bermuatan hukum yang menyinggung kebahagian umat agama lain.

Agar tidak saling melukai, saya berpendapat orang yang tidak seagama dengan kita, juga tidak pada tempatnya ikut membuat hukum seolah postingan yang melukai perasaannya itu berdosa, karena masing masing punya aturan hukum sendiri. Boleh jadi dosanya adalah karena sudah melukai perasaan orang berlainan agama tersebut dalam bingkai kemanusiaan. Namun dalam bingkai keimanan,  apa yang diutarakan sesama agama kita di dalam group yang berisi penganut agama lain sebenarnya sudah betul. 



Selamat menjalankan ajaran agama secara humanis dan beriman dengan cerdas di era digital ini.


Komentar

Postingan Populer