Materi LDNU

Anakku, Do'akan Orang Tuamu Seperti Ibunya Imam Syafi'i
Oleh : Astatik Bestari ( PC ISNU Jombang pada department keluarga dan perempuan)

Baru saja anak- anak kita yang ada di jenjang pendidikan usia dini ( PAUD, RA, TK), MI/ SD, MTs/ SMP,  dan MA/ SMA/ SMK memasuki tahun ajaran baru 2017-2018. Di antara mereka ada yang melanjutkan di kelas lebih tinggi, ada pula yang menjadi siswa baru di jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan juga masuk di lembaga pendidikan pesantren yang istilah masyarakat Jombang disebut mondok .

Bagi umumnya anak- anak sekolah dan santri yang tinggal melanjutkan kelas setingkat lebih tinggi dari sebelumnya,  tahun ajaran baru bukanlah hal yang merisaukan bahkan masa yang ditunggu-tunggu . Di kelas barunya, mereka mungkin akan menemui guru pengajar baru dan tentunya materi pelajaran yang lebih kompleks. Sementara lingkungan pergaulan mereka di sekolah, madrasah dan atau pondok pesantren tetap sama; teman dengan segala macam kepribadian, fasilitas sarana prasarana yang sudah mereka jumpai sebelumnya, beberapa pendidik/ gurupun sudah mereka kenal.  Hal  Ini sudah lumrah dijumpai oleh siswa dan santri lama.

Namun akan lain ceritanya,  ketika anak-anak kita memasuki lembaga pendidikan baru. Teman baru,  guru baru dan sarana prasarana pendidikan yang walaupun mereka sudah menjumpai di madrasah atau sekolah dan pesantren sebelumnya adakalanya mereka juga perlu menyesuaikan diri. Bagi mereka yang mudah beradaptasi,  tahun ajaran baru bukanlah kendala berarti justru suatu kebahagian mereka karena mampu melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi dengan suasana yang baru semua.

Untuk anak-anak yang perlu lama dalam beradaptasi dengan lingkungannya, para orang tua mereka  tentunya agar bersabar menyikapi dan tlaten mendampingi mereka dalam situasi seperti ini. Memang tidak banyak di lembaga pendidikan formal dan pesantren ditemui anak-anak yang sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Namun jika ada seperti itu kiranya patut kita carikan solusi. Adakalanya karena tidak cocok dengan makanan yang disediakan di dalam pondok pesantren ada anak yang tidak betah atau tidak kerasan, lalu minta pulang,  boyong.  Padahal membeli makanan tambahan lauk pauk diperkenan oleh pihak pesantren. Tapi ia juga malu keluar pondok pesantren .  Ada pula yang cocok dengan lingkungan sekolah,  madrasah atau pesantren,  tapi ia mendapat intimidasi atau tekanan dari kakak kelas sebagai dampak gaya hidup anak muda.
Lalu,  apakah orang tua yang menemui anaknya dalam posisi dan situasi seperti itu bergegas memindahkan anaknya atau menuruti kemauan anaknya untuk pulang tidak mondok lagi? Mengirimkan anak-anak kita ke lembaga pendidikan adalah tanggung jawab orang tua, menyerah dengan tipe anak yang sulit beradaptasi di lingkungan belajar barunya adalah kerugian bagi anak dan orang tua .

Prestasi anak atau kegagalan belajarnya tetap melekat dan menjadi tanggung jawab orang tua. Nampak dalam lahirnya memang seolah anaklah yang bermasalah,  tapi bagaimanapun juga sikap dhohir dan batin orang tua dalam memperlakukan pendidikan anaknya berperan besar menetukan. Saya menyimpulkan demikian teringat apa yang disampaikan kakak sepupu suami saya yang mengasuh pesantren khusus anak- anak di desa Catakgayam kecamatan Mojowarno yang kurang lebih seperti ini
"Mondokno anak iku sing penting ngatur wong tuwone, lek wong tuwone ihlas anak-e yo krasan".  ( kalau memondokkan anak itu  yang penting mengatur orang tuanya,  kalau orang tuanya ihlas ( melepas anaknya mondok) , maka anaknya akan kerasan ).

Pernyataan KH Mas'ud bin Ahmad Dhuha pengasuh pesantren tersebut rupanya sejalan dengan sejarah Imam Syafi'i, imam madhzab yang diikuti kaum nahdliyin ini. Cuplikan sejarahnya baru -baru ini sempat menjadi viral di dunia maya. Ibunya Imam Syafi'i menyuruh Imam Syafi'i untuk pergi menuntut ilmu
 “Nak pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Allah SWT Kelak kita bertemu di akhirat saja”.
Kemudian, Imam Syafi’i berangkat dari Makkah ke Madinah belajar dgn Imam Malik, kemudian ke Iraq.

Di Iraq Imam syafi’i tidak hanya  1 atau 2 tahun, beliau tidak berani pulang ke rumah, karena ketika beliau ingin pulang beliau teringat pesan ibunda beliau tersebut (“Kelak kita bertemu di akhirat saja…”) sehingga sebelum ada Izin dari Ibunya beliau tidak berani pulang ke rumah.

Penggalan cerita ini menyiratkan makna bahwa ibu yang  lebih dikenal memiliki hati tidak tega dengan anak jika jauh dari keluarga, yang lebih mendahulukan perasaan kasihan dan was- was jikalau anaknya jauh darinya ; harus berani berkata tegas baik secara lisan maupun batin untuk melepas anaknya pergi mencari ilmu. Begitu ikhlas melepas anaknya,  hingga dilambangkan dengan  diperkenankan berjumpa dengannya kelak di akhirat.

Kita bisa meneliti dan mengingat kembali, apa yang terjadi pada anak-anak kita di tempat belajarnya,  entah itu kerasan dan tenang di tempat belajar tersebut ( pondok pesantren dan bersekolah di sekolah formal)  atau justru tiba-tiba tidak kerasan, padahal mereka sendiri yang memilih pondok pesantren, madrsah dan perguruan tinggi . Mereka yang sudah tenang mondok dan bersekolah, mungkin karena kita sudah memilki tekada seperti ibunya Imam Syafi'i. Sementara itu,  kita tidak patut  terburu buru mengahakimi anak kita dengan mengganggap mereka tidak bisa beradaptasi atau tidak konsisten dengan pilihannya, boleh jadi karena hati kita sendiri yang belum bisa menyepakati keinginan kita untuk melepas anak-anak kita menuntut ilmu jauh dari dekapan tangan kasih sayang kita.

Kita semua yakin, keinginan anak-anak kita pergi mencari ilmu adalah keinginan nurani baiknya. Jangan sampai kita rusak dengan kurang ihlasnya kita melepas mereka. Semoga kita menjadi orang tua yang ihlas melepas anak-anak kita jauh dari kita untuk menuntut ilmu.
Anakku, doakan orang tuamu ini seperti ibunya Imam Syafi'i




Komentar

Postingan Populer