Malam 23 Ramadhan 1438H

 Malam Dua Puluh Tiga Ramadhan 1438 Hijriyah
Usai sholat tarawih pada malam ke-23 di bulan Ramadhan 1438H, tiba-tiba saya punya ide untuk menulis cerita tentang ibu saya sendiri. Entahlah, topik -topik cerita sudah disiapkan untuk LISSAN, satupun belum bisa rampung.

Mungkin menulis cerita tentang ibu saya akan lebih mudah  mengalirkan kata-kata dari benak saya yang kemudian terangkai dalam kalimat, lalu menjadi wujud paragraf, itu harapan dan angan-angan saya pada malam  dua puluh tiga kala itu. Ya, karena saya tiba-tiba ingat masa -masa hidup beliau di bulan Ramadhan begitu mampu membuat hari- hari di bulan Ramadhan sangat berkwalitas.
Ternyata benar,  semangat menulis cerita itu begitu menggelora. Penggalan-penggalan perjalanan hidup saya bersama beliau tiba-tiba berlalu lalang dalam alam pikiran saya. Saya ambil laptop dari ruang kerja saya dengan tetap mengingat-ingat peristiwa-peristiwa yang mengesankan dan saya pedomani dalam menjalani kehidupan sampai saat ini.

"Ada apa,Mi?" Saya menyeka air mata saya sebelum menjawab pertanyaan sulung saya ini.

"Umi teringat mbah kaji umi.." Jawab saya masih terisak. 'Mbah kaji umi' adalah panggilan anak-anak saya kepada ibu saya ini. Saya mulai mengetik kata demi kata sambil sesekali terisak.
Nampaknya  sulung saya tidak begitu detil melihat perubahan mimik wajah saya yang nampak sedih ini. Ia sibuk dengan handphonenya yang dihubungkan dengan sound system kecil di ruang keluarga. Ia sedang menyiapakan satu surat dalam Alquran untuk ia dengarkan istilah Jawanya "nderes" ini. Kemampuan belajar si sulung ini memang dengan memaksimalkan indra dengannya.

"Mengapa umi sampai nangis begitu?" Ternyata ia masih memperhatikan saya setelah kesibukannya menyiapkan instrumen "nderes" Alquran ini.

"Mbah kaji umi itu kalau bulan Ramadhan begini selalu menjadi imam sholat tarawih..." Saya mulai bercerita tentang ibu saya ini.
"Terus mengapa umi menangis? Kangen mbah kaji umi ta?" Tanya sulung saya sembari tangan kirinya memutarkan tombol volume sound system, mengecilkan volume bacaan Alquran yang baru saja ia bunyikan. Saya kira ia tidak perduli dengan perubahan mimik muka saya ini, ternyata tidak; ia cukup perhatian.

"Sampai saat ini, umi belum menemukan di sekitar lingkungan kita ini ada imam tarawih perempuan, Kakak". Saya menata nafas saya yang tersengal menahan tangis. Ia begitu saksama mendengar cerita saya. Ini artinya, saya sudah menggangu dia untuk 'nderes' Quran. Saya tidak perduli, pertimbangan saya, semoga ini bagian pelajaran hidup yang perlu ia ketahui walau cuma sekedar cerita.
"Kalau membaca doa sesudah sholat tarawih enak, bisa disimak walaupun cepat". Saya meneruskan cerita saya dengan mata-mata yang berkaca-kaca. Entahlah, mengapa saya tiba-tiba begitu melankonis seperti ini. Mungkin karena rasa kagum saya kepada beliau ini, atau rasa bahagia memiliki ibu seperti beliau ini, atau rasa malu karena saya belum bisa memiliki kemampuan seperti beliau padahal beliau hanya menempuh pendidikan SR ( Sekolah Rakyat) setara sekolah dasar sementara saya mencapai pendidikan kesarjanaan.
"Mas Omy.. Mas Omy..." Tiba-tiba kami mendengar beberapa anak laki-laki memanggil nama sulung saya ini. Ia beringsut keluar sejenak sesudah ia tidak mendengar lagi saya menuturkan cerita tentang ibu saya ini. Seperti malam-malam Ramadhan lainnya, mereka suka bermain di gazebo sebelah rumah kami semenjak sulung saya pulang liburan pondoknya.
Jam masih menunjukkan pukul 23.00 -an terdengar  kemudian suara instrument patrol 'ditabuh' mereka. Suara drum dan kaleng bekas bersautan membentuk suara nada khas patrol untuk membangunkan orang sahur.
"Umi tadi malam sudah selesai menulis cerita tentang mbah kaji umi?"  Keesokan harinya sulung sulung saya bertanya antusias.
"Cerita apa sih, Mi?" Si bungsu ikut bertanya, sepertinya sangat ingin tahu.
"Nanti dibacakan umi ceritanya ya?"
"Oh, berarti sudah selesai gih?  Respon si sulung spontan.
Sementara seperti biasanya, si bungsu merengek ingin tahu. Ia merasa ada yang disembunyikan.
"Tadi malam Adik kan sudah bubuk, jadi tidak tahu kalau umi menulis cerita tentang perjalan hidupnya mbah kaji umi sambil nangis..." penjelasan saya sekilas kepada si bungsu. Ia seperti tidak terima, karena baru mengetahui pagi ini tentang insiden menangis saya tadi malam.
"Sekarang saja dibaca, Mi. Nanti jam delapan adik mau main sama David". Rajuk si bungsu manja.
"Adik, nanti umi nangis lagi lho."Si kakak menampakkan kekhawatirannya. Inilah hal yang saya sukai dari si sulung. Ia selalu hadir menghibur, menenangkan hati orang-orang sekelilingnya dalam usianya yang masih tergolong anak ini.
"Baiklah, umi bacakan sekarang ya. Tolong dibantu ambil laptopnya di meja depan ya, Dik!" Setelah sekian waktu menyaksikan debat kecil si sulung dan adiknya, saya memutuskan untuk membacakan  cerpen yang saya tulis tadi malam. Sambil menyelam minum air, memenuhi keingintahuan mereka dan berharap cerita tersebut jadi kisah teladan bagi keluarga kami.
"Laptopnya tidak ada, Mi"  Si Bungsu sudah balik setelah tidak menemukan laptop yang saya maksud.
" Di Meja kerjanya umi. Tadi malam dipindah abi" . Abi, panggilan ayah bagi anak-anak saya gabung dengan kami usai memberi makan unggas- unggas peliharaannya.
"Bismillah, semoga umi tidak menangis lagi". Saya tersenyum penuh arti kepada anak-anak dan suami saya usai menerima laptop dari si bungsu.
" Ibu saya bernama Siti Fathonah. Setelah menjalankan ibadah haji, nama beliau ditambahi. Aisyah dan sisinya ditiadakan, sehingga namanya menjadi Fathonah Aisyah ". Saya berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
" Mbah kaji umi itu naik hajinya kapan?" Si Bungsu menghentikan bacaan saya dengan pertanyaan polosnya.
"Setahun sesudah tragedi Mina pada tahun 1991 ketepatan waktu itu disebut Ibadah haji akbar; adalah ibadah haji yang wukufnya bertepatan dengan hari Juma'at". Sesudah menjelaskan ini, saya lanjutkan membaca cerpen lagi. Senangnya suasana puasa kala itu, walau saya sempat menangis gara-gara tulisan cerpen ini, Ramadhan kali ini ada hal baru,  saya mendapat kesempatan nulis cerpen di LISAN dan didukung kedua anak saya dan suami. Mereka mendengar cerita saya dengan saksama.
"Pantasan umi senang organisasi, wong mbah kaji umi dulu juga suka sibuk di muslimat NU dan Ikatan Haji Muslimat ". Ini tanggapan suami saya ketika saya membaca cerita tentang aktivitas publik ibu saya sesudah abah saya meninggal.
"Mbah kaji umi dulu juga jadi bu guru seperti umi ya?" Si Bungsu tanya lagi . Mungkin organisasi itu dianggap sebagai profesi.
"Mbah kaji umi dulu itu gurunya umi, guru ngaji Alquran . Beliau kemudian melanjutkan TPQ mbahnya umi ( ibunya Mbah kaji umi ) yang tempat TPQnya di mushola di belakang rumahnya mbah kaji umi. Tidak saja melanjutkan kegiatan TPQ, mbah kaji umi juga merenovasi mushola tersebut dengan minta sumbangan kepada para donatur. Tak Jarang beliau sholat hajat dulu sebelum meminta sumbangan..." Cerita saya dengan mata mulai berkaca- kaca. Perjuangan ibu saya ini memang maksimal dalam usia yang sudah lanjut, sekitaran 60 tahun waktu itu.
"...Selain berjuang untuk lembaga TPQ dan kegiatan di mushola seperti menambah kegiatan mengaji bandongan kitab-kitab salaf ibu saya juga ditunjuk masyarakat sebagai ketua pengurus TK Muslimat 45 yang didirikan oleh ayah saya bersama tokoh masyakarat setempat. .."  Saya lanjutkan membaca cerpen lagi.
" Umi kalau mau mengajukan bantuan, sholat hajat sepeti mbah kaji umi saja, biar sekolahnya umi bagus sepeti TPQnya mbah kaji umi". Ah ... Si sulung, bijak sekali cara dia memahami dinamika perjuangan saya selama ini.
"Gih,  Kak. Kakak, adik dan abi  juga membantu doa ya.." Saya jadi teringat cerita ibu saya sejak ayah saya meninggal toko pracagannya jadi sepi,  kata umi karena yang bantu doa berkurang.
"Ibu saya sukses menjadi teladan dalam menjalankan sholat secara berjamaah. Saya dan keluarga sampai detik ini hampir tidak pernah meninggalkan sholat jamaah. .." Belum selesai saya membaca cerpen pada jeda titik, si bungsu berkomentar
"Adik selalu sholat jamaah sama kakak  gih, Kak? " Si sulung yang dimintai persetujuan mengangguk. Tiap sholat Isya, mereka sholat berjamaah berdua, mumpung si sulung di rumah saya ingin tahu hasil hafalan Alqur'annya. Ini adalah cara saya untuk mengecek program tahfidzul Qur'an di samping melatihnya untuk jadi imam sholat dan melatih keduanya agar selalu rukun dan saling menyayangi.
"Adik dan Kakak memang hebat". Suami saya mengacungkan jempol menanggapi ujaran si bungsu. Saya ikut memujinya kemudian saya lanjutkan lagi membaca
" Begitu senangnya beliau sholat berjamaah, dalam sakitnyapun beliau tetap konsisten berjamaah. Selain ibadah sholat dengan jamaah ibu saya juga istiqamah dalam sholat nawafil seperti sholat dhuha sampai kurang lebih dua jam sebelum menghembuskan nafas terakhir..."
"Adik juga sholat dhuha lho, Mi" Si bungsu menyela cerita saya lagi.
"Iya, sip. Alhamdulillah adik dan kakak mau sholat dhuha" kata saya sembari saya mengacungkan kedua  jempol saya.
Sampai di sini saya membacakan cerita kepada mereka, ada sesak di dada ini, menahan haru dan rindu kepada ibu saya dan mengingat perjuangan beliau untuk keluarga dan masyakarat sekitarnya.
Yang belum saya bacakan dalam cerita itu adalah saat beliau memberitahukan kepada saya bahwa segala harta benda sudah dihibahkan kepada putri putrinya.
"Tugas umi sudah selasai mengatur kalian semua,  ini ada uang sholawat, saya titip agar dibagikan kepada orang-orang yang menyolati jenazahnya umi kelak. Perhiasan yang dipakai umi ini untuk kebutuhan umi di akhirat." Pernyataan tersebut waktu itu saya anggap lalu saja,  anak mana yang mengharap orang tuanya meninggal secepat itu, berharap beliau panjang umur dan sehat adalah keinginan kami anak-anaknya
Tidak begitu lama, ibu saya benar benar meninggal tanpa membuat anak-anaknya repot. Subuh masih sholat jamaah karena kondisi melemah beliau dibawa ke rumah sakit,   jam 10an masih sholat dhuha jam 11an koma dan akhirnya meninggal dunia.
Anak-anak saya dan suami saya tuntas mendengarkan cerita saya ini, satu persatu mereka pada aktifitas masing masing . Membaca cerita ini saya seperti mengeluarkan uneg uneg-uneg dalam hati: lega dan plong.
Kepada para pembaca cerpen ini mohon bantuan doa untuk kedua orang tua saya.




Komentar

Postingan Populer