“Bu Guru Tidak Pernah Marah”
Jam 18.30 -an seperti biasanya, aku menyimak bungsuku membaca iqro’ jilid 1. Sementara kakaknya, atas kemauannya sendiri mengikuti program pendidikan pesantren di pondok pesatren pakdenya yang tak jauh dari tempat tinggal kami.
“
Ja, ha, …” Jangka, bungsuku itu melafadzkan bacaan yang tertulis dalam kitab
iqro’ tersebut.”Khe” kebiasaan dia kalau melafadzkan ‘kho’ dengan ucapan ‘khe’
sambil menoleh ke arahku dan tersenyum. Kubiarkan saja ia melafadzkan demikian
itu, karena sebelumnya ia sudah bisa melafadzkannya dengan benar.
“Mi,
adik ada PR lagi dari bu guru”. Ia memberitahuku sesudah
kegiatan ngajinya kami akhiri bersama. “
Adik mengerjakan sekarang atau nanti ?” Tanyaku memberi pilihan. “Sekarang
saja”. Jawabnya seraya kepalanya disandarkan di lenganku, kelihatan sekali
sikap kanak-kanaknya.
“Ambil dong bukunya!” perintahku ketika kulihat ia lama mempermainkan ‘penuduh’ (alat penunjuk tulisan ketika mengaji). “Sebentar Mi, adik masih pegel lho” Elaknya bernada merengek.
“Adik minta ditolong umi ta?” tanyaku menawarkan diri. Ia cuma mengangguk tanda setuju. Aku segera
bergegas mengambil tas sekolahnya . Beberapa detik kemudian ia sudah sibuk
mengaduk-aduk tasnya mencari buku catatan PR dan alat tulisnya. “ Di mana sich
penghapusnya?” Ia mulai gusar. Kulihat
matanya tinggal beberapa watt saja, mulai ngantuk, maklum sudah masuk waktu
isya agak lama’, waktunya ia tidur. Lama ia mengaduk – aduk tasnya, akhirnya kubantu juga ia mencari penghapus tersebut. Ia
mulai menulis tugas sesuai perintah guru TK-nya, tentu saja setelah ia
memintaku untuk membacakan perintahnya.
“Adik
pegel, Mi?” keningnya sedikit
berkerut, mungkin demi memperjelas keluhannya. “ Besok dikerjakan lagi ya?” aku
berusaha nego, tapi apa katanya “ Umi bantu adik gitu lho. Tangannya adik
dipegang Umi seperti dulu itu”. Kuturuti kemauannya, meskipun aku kurang senang
dengan mendampingi belajar seperti ini. Pikirku, membuat dia berpangku tangan
mengharap bantuan orang lain untuk menyelesaikan tugasnya. “Sudah, besok lagi,
umi juga capek.” Kataku menyudahi belajarnya, sebelum PR bungsuku tuntas
dikerjakan. Di bukunya itu tinggal dua baris kalimat yang harus ditulis dari
lima kalimat yang diminta gurunya untuk menulis dan membaca kembali.
Keesokan
harinya, kira-kira sejam sesudah ia bangun tidur. “Mi, PR-nya Jangka sudah
diselesaikan apa belum?” Abi mengingatkanku di sela-sela kesibukan kami masing- masing di setiap pagi. ‘O, enggeh… Ayo Dik dikerjakan lagi” Aku sudah menyodorkan buku tugasnya.
“Sebentar, adik masih mimik susu”.
Katanya sembari membetulkan tempat
duduknya di depan TV, matanya tertuju pada film kartun spongebob.
“Assalamu’alaikum” Dari luar terdengar suara kakak berucap
salam, datang dari pondok setelah mengaji sejak jam 4 pagi buta tadi.
“Wa’alaikum salam” Jawabku bersamaan dengan jawaban abi di luar sana. “Umi dan
abi dibantu ya,Kak!” Aku mengingatkan
kakak untuk mengerjakan rutinitas paginya membantu menyelesaikan tugas rumah
yang ringan, seperti menyapu dan memberi makan unggas-unggas abinya. Rupanya
kakak mengangguk saja meanggapi permintaanku .Sementara itu masih kulihat si
adik bermalas-malasan di depan TV
“Sudah Dik, mimik susunya?”
“
Adik mau makan dulu” Astaghfiruloh,
tumben juga ini anak, kok jadi diulur-ulur menyelesaikan tugasnya. “ Adik tidak takut dikasih bintang sedikit ta oleh bu guru?” Aku ingin tau seberapa
besar tanggungjawabnya menyelesaikan tugasnya itu.
“Adik
lho, Mi capek” .
“Kalu
adik capek, matur ke bu guru : ‘
Bu guru adik tidak dikasih PR
dulu ya’, begitu geh?” Bagiku lebih
baik begitu, daripada memamaklumi tugas
yang belum diselesaikan yang notabene
selalu diberikan tiap hari, tugas
menulis,membaca dan berhitung .
“Umi
saja yang memberi tahu, adik malu”. Responnya setelah beberapa waktu ia
mengunyah makan paginya. Aku menyanggupi saja. Dalam hatiku, mungkin lebih baik
ia sendiri yang berkomunikasi tentang hal itu kepada gurunya.
“Mi,
mana baju Pramukanya, Kakak?” Omy, sang kakak, membuka lipatan-lipatan baju di
dalam lemari yang dekat mushola itu. “Masih di keranjang,Kak. Kemarin belum
sempat dimasukkan umi ke lemari habis disetrika adik Lail.” Kakak langsung
bergegas ke tempat setrikaan.
Akhirnya,
sampai juga waktu untuk bersiap-siap ke sekolah, mandi, sarapan, berseragam dan
sebelumnya sholat dhuha dulu.Si bungsu baru beberapa hari saja ia terbiasa
sholat dhuha dan belum konsisten (istiqomah), sementara kakak sudah mulai bisa
konsisten.
“Assalamu’alaikum,
Kakak nanti ada jam pelajaran tambahan, Bi” kudengar kakak minta izin berangkat
ke sekolah. “Wa’alaikum salam”. Abi bersalaman dengan Kakak lalu berjalan ke
arahku dan bersalaman pula.
“Sangunya kakak ditambahi kan, Mi?” Omy
menagih janjiku untuk memberi uang saku tambahan mengingat ia ada pelajaran
tambahan.” Dibuat beli baksonya Wak Jinah atau beli nasi kuningnya Bu Nanik
ya!” aku menganggguk dan kemudian mengingatkan untuk beli makanan yang aman,
diantaranya bakso tradisionalnya Wak Jinah yang lain rasanya dari bakso yang
biasa dijual .
“Umi,
adik juga sangunya yang banyak ya?”
Jangka, bungsuku itu menuntut pula uang saku lebih.
“Insyallah,
nanti adik di sekolah dapat bintang sepuluh ya?’
“Tidak
ada,Mi. Bintangnya Cuma empat”. Ia senyum-senyum mungkin dianggapnya
ungakapanku itu lucu.”Oh begitu ya?” Tanyaku seolah tidak tahu perihal nilai
bintangnya itu. Kemudian keduanya
berangkat ke sekolah. Kakak mengendarai sepedanya sedangkan adik diantar abi
naik motor. Aku sendiri belum selesai menyiapkan kebutuhanku menata tugas untuk
siswa-siswa, karena hari ini aku tidak dapat melanjutkan mengajar pada jam siang,
mengingat ada rapat di aula dinas pendidikan, persiapan Hari Aksara . Inilah
kiranya, mau melaksanakan aktivitas sesuai waktu yang tersedia, tapi ada saja
aktivitas mendadak yang membuatku menunda aktivitas lainnya.
Setelah
kami melaksanakan aktivitas masing-masing : sekolah untuk kedua anakku, aku
mengajar dan suami sibuk dengan unggas-unggasnya dan dagangnya, tidak terasa
waktu sudah sore. Omy, sulungku sudah
berangkat mengaji sejak jam 14.30 tadi. Aku tidak mengetahui keberangkatannya
karena masih dalam perjalanan pulang dari rapat, di tengah perjalanan berhenti
sejenak menunggu hujan reda.
“Jangka
dimandikan juga, Mi!” terdengar suara abi dari luar sana. Memang aku langsung
bersih-bersih karena guyuran hujan di jalan tadi. “Nyuwon tolong, Bi larene diutus mriki!” kataku menanggapi abi dari dalam kamar mandi.
Tak lama kemudian, bungsuku sudah datang dengan membawa beberapa mainan yang
biasanya dipakai bermain di kamar mandi, seperti pompa air dan botol kemasan
air mineral.
“Bagaimana
PR-nya Adik tadi?” tanyaku sambil membersihkan badannya dengan sabun. Ia sibuk
dengan pompa air dan botolnya.
“Bu
guru lho, Mi memberi adik nilai bintang tiga”
Oh
ya?” aku sedikit heran “ Tadi PR-nya
cuma ditulis tigakan? “ Jangka mengangguk.
Tiap hari kami tanya anak-anak kami tentang hasil belajarnya dan juga sikap-
sikap guru dan teman-teman mereka terhadap mereka berdua. Kebetulan bungsuku
selalu diberi nilai bintang tiga oleh guru-gurunya, baik itu hasil pekerjaannya
mendekati sempurna maupun tidak . Tapi untuk tugas rumahnya yang satu ini
sepertinya jauh dari kata sempurna.
“Padahal
bu guru menyuruh menulis lima…….” Aku melanjutkan keherananku.
“Emang,
bu guru itu tidak pernah marah, Mi”. Ia menaggapi pernyataanku dengan santai.
Olala…. Sejuk sekali ungkapannya, andai bu gurunya mendengar ungkapan anakku
dan mungkin anak- anak lainnya sejenis ini . Sebuah ungkapan tulus yang tidak
butuh dibalas dengan nilai bintang empat.
Komentar
Posting Komentar