Memagari Kenyamanan Hidup dengan Rasa Malu
Kalau
membahas topic malu ini saya jadi teringat perbincangan Bapak Karni Ilyas
dengan ketua MK, Bapak Mahfudz MD beberapa waktu yang lalu di salah satu acara
yang disiarkan TV One pada Desember 2011. Saya lupa tanggal berapa, cuma yang
saya ingat pada waktu itu disiarkan
malam hari, dan di pojok kiri bawah di layar TV saya terbaca “Jakarta Lawyers
club”. Tidak banyak yang saya ikuti dari perbincangan itu, satu topic
pembicaraan yang saya kenang “apa yang saya lalui saat ini adalah cita-cita
saya dulu” kurang lebih begitu ungkapan Pak Mahfudz menceritakan perjalanan
hidupnya di talkshow itu. Lebih tercengang lagi ketika beliau mengungkapkan “
saya merasa semua yang saya inginkan ini
tercapai, dan saya merasa malu kepada Allah SWT untuk meminta lagi (
saya pahami berdo’a untuk memperoleh harapan & cita-cita nya)”. Begitu
ungkapannya, meskipun saya tidak bisa mencuplik langsung ungkapannya karena ada
kata ‘malu kepada Allah’ itu yang membuat saya jadi terfokus pada kepribadiannya.”saya jalani saja yang saat ini saya peroleh”.Tambahnya
lagi.
Ungkapan
serupa juga pernah saya dengar dari
almarhum abah saya. Ketika saya masih duduk di sekolah dasar, saya
sering meminta dido’akan oleh orang tua saya, umi dan abah. Pernah suatu hari
saya begitu mendesak kepada abah saya agar lebih intens dalam mendo’akan saya,
“Nak, abah isin nang Gusti Allah, bolak-balik njaluk” begitu ungkapan bahasa
Jawanya.
Dari
beliau-beliau itu saya melakukan up grade
pemahaman saya sendiri, ungkapan rasa
malu itu tidak hanya diterapkan pada relasi pergaulan dengan sesama, tapi juga
kepada Allah SWT, dan mengapa bisa muncul
rasa malu kepada Allah, tentunya kadar pemahaman & internalisasi pola
kedekatan dengan-Nya.Memang, tentang rasa malu ini dalam beberapa hadits Nabi
Muhammad SAW banyak dijelaskan diantaranya adalah …Sesungguhnya rasa malu itu termasuk dari keimanan” (Muttafaqun’alaih).
Lalu apa sebenarnya“malu”itu? Dan seberapa
pentingkah diperlukan dalam menemani aktivitas hidup kita? Menurut Kamus Bahasa
Indonesia (www.KamusBahasaIndonesia.org)
malu artinya (1)merasa sangat tidak enak
hati (hina, rendah dan sebagainya)karena berbuat sesuatu yang kurang
baik,kurang benar karena berbeda dengan kebisaaan, mempunyai cacat atau
kekurangan dan sebagainya);(2) segan melakukan sesuatu karena rasa hormat, agak
takut dan sebagainya;(3) kurang senang, rendah, hina dan sebagainya. Kalau
sudah mengetahui definisinya, dalam pemahaman
saya banyak hal atau mungkin setiap prilaku wajiblah memiliki key word “malu” sebelum betul-betul
melaksankan atau tidak apa yang menjadi rencana kita. Agaknya, tidak mengandung
kerugian kalau malu ini kita jadikan key
word aktivitas kita sehari-hari. Dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan : “
Sifat malu itu, baik seluruh akibatnya
“atau “malu itu semua baik akibatnya”.(HR.Muslim).Maka pantaslah kalau kita
memperbanyak rasa malu, terutama kepada Allah SWT.
Saya
pernah membaca salah satu terjemahan kitab kajian keagamaan {Tanbighul Ghafilin( jilid 2), artinya
Peringatan bagi Orang-orang Lupa} mengemukakan pendapat salah seorang salaf
yang berkata kepada anaknya:”Apabila
nafsumu mengajak kamu untuk melakukan dosa maka lihatlah ke atas dan malulah
kepda penghuni langit. Apabila tidak,maka lihatlah ke bawah dan malulah kepada
penghuni bumi. Apabila kamu tidak merasa malu kepada penghuni langit dan
penghuni bumi, maka anggaplah dirimu termasuk binatang yang tidak mempunyai
rasa malu”.
Marilah
kita mengingat peristiwa-peristiwa yang telah berlangsung di lingkungan kita,
ada hal- hal baik dan buruk, baik itu perkataan maupun perbuatan. Agaknya suatu
perkataan atau perbuatan itu benar menurut pendapat umum belum tentu bisa
dilaksanakan dan diungkapkan karena ada ukuran malu di dalamnya. Seseorang yang
ingin mengingatkan seorang tokoh masyarakat tentang kebijakannya yang tidak
popular terkadang tidak jadi disampaikan karena ada rasa malu tersebut( (baca
definisi malu no 2)
Adakalanya
berbagai kejahatan di masyarakat bisa terjadi karena para pelakunya tidak
mempertimbangkan rasa malu .Korupsi
terjadi di instansi-instansi pemerintahan dan swasta karena pelakunya
mengesampingkan rasa malu. Malu mengambil uang yang bukan haknya, baik malu
kepada diri sendiri, orang lain terlebih kepada Tuhan Yang Maha Tahu.
Semestinya, ada pertimbangan-pertimbangan akal sehat sehingga mendorong
munculnya rasa malu ini. Akal sehat siapapun pasti mengakui bahwa mengambil
bukan miliknya adalah perbuatan tercela dan menimbulkan dosa, dan itu pastilah
perbuatan –perbuatan yang mengandung rasa malu jika dilakukan.
Ada
pula yang masih hangat dibicarakan di media masa; tentang pelecehan seksual di
kendaraan umum. Lagi-lagi, malu-lah yang ikut serta meminimalisir ini, bukan
peraturan pemerintah, sampai ada kebijakan tempat antrean khusus perempuan
hingga rencana armada khusus perempuan. Cobalah kita perhatikan, saya sendiri
tidak melakukan penelitian ini, namun saya juga mengamini beberapa pendapat
yang mengatakan tentang pengadaan armada khusus ini. Bagaimana tidak menimbulkan
ketidaknyamanan apabila seorang perempuan
bepergian dengan suami atau anak
laki-lakinya, karena adanya armada khusus ini tentunya mereka akan berpisah,
padahal boleh jadi suami atau anak laki-laki itu sebagai pendampingnya dalam
perjalanan. Menyendirikan armada seperti ini agaknya akan merepotkan para
pemakai jasa ini, khususnya pada penumpang seperti yang tersebut tadi. Akan
afdhol menurut saya, bila ada iklan layanan masyarakat yang mengajak masyarakat
untuk malu melakukan tindakan tercela dalam hal ini pelecehan seksual di
kendaraan umum.
Kalau
saat ini yang sudah terjadi, para pelaku pelecehan adalah penumpang laki-laki
kepada penumpang perempuan, selayaknyalah, para laki-laki bisa mengutamakan
rasa malu ketimbang menuruti kemauan biologis yang notabene masuk ranah amoral
ini. Tentunya akan banyak pertimbangan malu ini, malu kepada Tuhan Yang Maha
Tahu, malu kepada perempuan yang dilecehkan, malu kepada penegak hukum,
terlebih lagi kalau sudah dipublikassikan di media masa.
Sebagai
perempuan, saya juga berusaha untuk bersikap obyektif, dengan tidak hanya menilai kesalahan di pihak laki-laki
saja, bisa jadi ada hal-hal pada diri
perempuan yang berpotensi penyebab
pelecehan seksual. Dengan tetap menghormati hak azasi perempuan, saya katakan,
mungkin gaya berpakaian dan tingkah laku perempuan, seorang laki-laki yang
sudah punya mind set buruk menjadi terdorong
melakukan itu, dan agaknya tidak mungkin bagi laki-laki yang punya mind set positif terhadap perempuan
dengan gaya busana dan tingkah laku apapun bisa melakukan itu.
Saya
kira, cukup nyaman manakala perempuan bisa menunjukkan sifat-sifat keindahannya
dengan busana yang wajar dipakai di tengah masyarakat umum, layaknya ketika
perempuan yang senang mengenakan perhiasan mahal, berkenaan mengurangi
perhiasannya, ketika berada ditempat umum, tentunya, demi kenyamanan dan
keamanan dirinya. Akan terasa arif manakala para perempaun merasa malu, ketika
pakaian dan prilakunya, berbeda dengan sekelilingnya, atau berbeda dengan adat
yang berlaku secara umum (baca definisi malu no 1 dari tulisan ini).
Begitu
pula, yang terjadi di dunia kerja, ketika melaksanakan tugas kerja, baguslah
mengenakan pola pikir malu ketika mengurangi jam kerjanya alias korupsi waktu.
Dengan demikian, pelayanan kepada masyarakat berdampak pada pelayanan yang
amanah dan jujur. Karena dapat melaksanakan tugas dengan cukup waktu, tidak
tergesa-gesa saat melaksankan tugas karena tidak korupsi waktu.
Nah,
ha-hal yang saya bahas tersebut masih pada ranah yang dilakukan oleh aktivitas
tubuh, apakah aktivitas wicara juga perlu menggunkan key word ‘malu’ ketika produk bicara itu belum sampai terlontar
dari rongga mulut atau tertulis oleh tangan-tangan kita melalui produk tulis?
Tentu jawababnya”ya”. Marilah kita rasakan ketika ada orang lain berbicara
dengan pemilihan kata yang santun dan terungkap secara santun pula, kita pasti
merasa dihargai, dihormati, kitapun menilai orang tersebut dengan penilaian
positif dan baik pula. Sebaliknya, ketika kita mendengar muatan bicara orang
lain yang tidak senonoh, diungkapkan secara kasar pula, tentu kita akan risih
mendengarnya. Pada keadaan demikian inilah, sepatutnya bagi seseorang yang mengunngkapkan
kata-kata yang tidak patut, atau tidak pantas dapat menimbang-nimbang dengan perasaan malu (lihat
definisi malu no 1). Demikian juga ketika mengungkapkan isi pikiran dan hati
kita dengan bahasa tulis, terasa enak dibaca dan diterima dengan pikiran
positif oleh pembaca, jika kita menuangkan pikiran kita dengan bahasa yang santun
dan ekspresi tulis yang diterima dengan
pemahaman beradab.
Agaknya,
sekali lagi saya ungkapkan, tidak ada
cela langkah hidup kita yang terbebas dari rasa malu, terutama malu kepada Dzat
Yang maha Tahu. Penempatan rasa malu tentulah diukur dengan rasa dan etika
kepatutan, norma susila tepatnya. Sedangkan malu kepda Dzat Yang Maha Tahu
diperlukan komunikasi yang intens dengan-NYa
ditandai dengan bertaqwa kepadaNya (menjalankan perintahNya dan menjauhi
laranganNya) baik itu terwujud melalui ibadah social maupun ibadah ritual.
Komentar
Posting Komentar